biar kata yang bicara

wellcom in jungle of mind

Minggu, 09 September 2012

Yang Kedua

Ia kami beri nama Ahmad Yazid Tastaftiyan. Kini usianya sudah 12 lapan atau 14 bulan. Sudah bisa berjalan dan mengaji. Tahu gimana ngajinya? Au ... Au ... Au ... sambil duduk dan minta diambilkan Al Quran. Aku selalu teringat waktu kelahirannya. Itu berbeda dengan waktu kelahiran kakaknya, Sabrina Nur Maulida (Ririn). Semalaman menunggui, ternyata belum keluar-keluar aku kecapekan dan pamit mau isitirahat sebentar. Di ruang lain yang sedang kosong aku merebahkan badan. Aku ketiduran. Belum berapa lama, Aku dibangunkan katanya anak pertama sudah lahir. Alhamdulillah.
Tapi untuk anak keduaku ini, aku berniat mengikuti prosesnya dari awal. Ketika tengah malam ada pergerakan langsung semua siap-siap. Dari rumah berangkat jam 5 pagi. Kali ini mau lahiran di rumah sakit. Beda dengan di rumah bidan, sekali datang langsung diperiksa semuanya. Sudah buka berapa, tes darah dan diperiksa tekanan darahnya. Setelah administrasinya diisi semua. Langsung dibawa ke ruang bersalin. Hanya yang mau bersalin yang boleh masuk dan satu orang penunggu. Barang bawaan dibongkar diruang tunggu. Ambilkan handuk, sabun, sikat gigi dan sampo. Harap tunggu diluar ya pak. Itulah beberapa perintah-perintah perawat yang menjagai istriku.
Aku belum diizinkan masuk. Hanya ibuku. Selang beberapa saat ibuku keluar. Gantian aku yang masuk. Ada perasaan senyap memasuki ruang bersalin. Di ruang lain ada suara yang sedang mengejang. Mau lahiran kayaknya. Aku masuk ke kamar bersalin. Antara kamar satu dan yang lain cuma disekat kain yang digantung gorden membentuk segi empat. Aku lihat istriku sudah mandi dan berbau wangi.
"Suruh mandi dan gosok gigi kata perawatnya biar wangi"
"Dokter belum datang?"
"Belum"
Memang semua tergantung sama dokternya. Namanya dr. Ivan. Sampai jam 11 siang belum nongol juga. Air putih yang didoakan datang. Untuk memperlancar kelahiran katanya. Istriku meminum separo. Sampai jam segitu juga belum ada tanda-tanda mau keluar jabang bayinya. Kira-kira tengah hari dokternya datang, melihat kondisi istriku.
"Dipacu ya bu? "
Kemudian dokter memberi penjelasan kalau dipacu itu untuk membantu ibu yang melahirkan biar tidak kecapaian. Karena sudah sejak semalaman merasakan sakit. Khawatir nanti pas melahirkan sudah tidak bertenaga. Dokter mempersilakan kami semua menimbang usulan ini. Aku beritahukan ibu bahwa ini akan dipacu. Akhirnya kami setuju dipacu.
Setelah dipacu, sebentar-bentar terasa sakit. Dan suara dari alat pedeteksi janin semakin sering terdengar gaduh. Selang setengah jam, istriku merasakan sakit yang luar biasa. Ia menyuruh saya memanggil suster.
Suster datang dan menyuruh saya keluar. Sebentar kemudian suster keluar lagi. Ia memanggil teman-temannya. Ruangan yang semula tenang menjadi ramai kayak pasar. Ada sekitar enam suster yang berlalu lalang di ruangan istriku. Semua sibuk. Ada mendorong meja roda. Ada membawa selimut. Ada yang menulis.
Aku semakin panik ketika mulai mendengar suara-suara yang mengerang. Kesakitan. Duh gusti ...
"Mbak boleh saya menunggui?" tanya saya.
"Sebentar ya pak, silakan isi formulir ini dulu." kata suster.
Aku cepat-cepat mengisi. Aku terus mendengar suara-suara itu. Aku berdiri. Mondar-mandir. Tapi tidak merokok. Ruangan ber-Ac tidak boleh merokok. Dokter belum juga datang. Kemana dokter itu? Di ruangan itu suara istriku dan suster silih berganti bersautan. Satunya memberi aba-aba, satunya mengejang. Pikiranku kacau.
Dokter datang, suasana semakin menjadi. Suara istriku sudah mengalahkan suara suster yang memberi aba-aba. Dan tiba-tiba ... pecahlah tangisan suara bayi.
"Silakan masuk bapak ..." seorang suster keluar.
Aku mencari istriku. Ia tersenyum. Aku menangis. Hu ... hu .... Aku haru. Aku syahdu. Aku bersyukur semua selamat. Kemudian aku melihat jabang bayi merah anakku. Masih belepotan darah dan mulai dibersih-bersihkan.
Aku disuruh mengikuti suster yang membawa bayi mungil itu. Aku ditunjukkin kelaminnya, jari-jari tangan kaki semua normal. Juga diukur berat badan dan tinggi badannya. Terus di kasih gelang plastik. Aku dipersilahkan mengazani dan iqomah di telinganya. Setelah selesai ia dimasukkan ke dalam kotak kaca bercahaya. Ketika ia diletakkan di samping tempat tidur ibunya, ia bergerak-gerak. Ibunya hanya tersenyum.

Selasa, 19 Juni 2012

Nyangkul Lagi


Musim tanam segera tiba. Saat ini sudah banyak petani yang mulai menebar benih di persemaian. Banyak petani berharap, musim tanam kedua hasil pertanian meningkat dari MT I kemarin. Karena biasanya gabah yang dihasilkan di musim kemarau lebih berisi dan banyak. Pada MT 2 ini aku menebarkan benih SS. Kata Pak Lik, benih itu anaknya banyak yang berarti banyak padinya. Pengalaman dari benih Ciherang yang ditanam kemarin hasilnya kurang menggembirakan. Malah pas mau panen diterjang angin puting beliung. Waduh ... Nggak jadi deh aku menuliskan di sini. Terlalu galau. Aku mendokumentasikan setiap pertumbuhan padiku kala itu. Dan puncaknya adalah nanti di masa panen. Tapi alam berkata lain. Tidak gagal sih. Cuma kurang sempurna.
Di musim yang mulai kering ini, alhamdulillah air di tempatku masih gampang. Bahkan melimpah. Benih di persemaian gampang diairi. Dilep istilahnya. Masih ada 1 pekerjaan yang belum dikerjakan. Mopok. Itu semacam menambalkan galengan atau pematang dengan tanah basah. Maksudnya agar ada yang terbarukan di pematang yang cukup kuat untuk lalu lalang orang. Setelah itu baru nanti tanah sawah dihaluskan atau diratakan untuk ditanami padi.
Semua petani berharap panen kali ini bisa meningkat hasilnya. Semoga.

Minggu, 26 Februari 2012

Yuk ke Sawah


       Pagi tadi Ririn ngajak jalan-jalan. Biasa, minggu pagi selalu menagih janji untuk jalan-jalan. Walaupun hanya sekedar mengelilingi kampung. Kali ini rutenya ke sawah. Sekalian ganti bumbung (saluran air dari bambu) yang hilang entah kemana.
         “Kok ke sawah, Pak?” tanya Ririn.
         “Ndak papa  tho, sekali-kali ke sawah,” jawabku.
         “Kamu nanti bisa lihat traktor, kuntul (sejenis burung bangau), dan padi yang baru ditanam”
      Kukayuh sepeda onthelku di kesejukan pagi. Musim tanam tahun ini, aku memang yang ngerjakan sawah. Setelah beberapa tahun sebelumnya digarapkan kepada orang lain. Sebagai petani baru, aku cukup pede untuk segala hal yang berhubungan dengan pertanian. Padahal secuil pun aku tak paham menggarap sawah.
      Sesampainya di sawah, Ririn bilang mau ikut turun ke sawah. Aku bilang jangan. Sebab aku cuma mau ganti bumbung. Setelah selesai dan memastikan airnya lancar aku kembali bersepeda. Kali ini ke pematang seberang. Jalannya memutar dan harus melewati balai desa.
      Kebetulan waktu itu ada traktor yang sedang menggaru (menghaluskan tanah sawah sebelum di Tanami padi).
        “Itu lho, yang namanya traktor,” kataku padanya.
        “Oh, itu yang namanya traktor,” jawab Ririn sambil bengong.
         “Kamu lihat terus, hapalkan nanti sampai rumah di gambar.”
    Ririn memang suka menggambar. Minatnya pada coret-coret sangat besar. Sampai-sampai waktu belajarpun digunakan untuk menggambar. Aku kadang tidak tega untuk melarangnya menggambar. Padahal seminggu sekali ia diles menggambar. Koleksi gambarnya sudah ada 20-an, selain gambar-gambar yang berserakan dimana-mana. Cuma, aku mau bilang apa.
      Setelah memutari pematang, kami pulang. Sepertinya tanaman yang sudah berumur 7 hari ini baik-baik saja. Tinggal nanti setelah 10 hari harus diberi pupuk.
Buruh tandur menyelesaikan tanam padi di sawah
      Di balai desa ramai sekali anak-anak pramuka dari SMK Taman Siswa Sukoharjo. Katanya kemah di bumi perkemahan waduk Mulur. Tapi menginap di kantor balai desa karena cuaca hujan.

Rabu, 25 Mei 2011

Menanti

Kandungan istriku sudah masuk usia ke delapan bulan. Ini kehamilannya yang kedua. Perutnya benar-benar sudah besar. Bobot janin yang dikandung lebih dari 2 kilogram. Secara rutin satu bulan sekali pergi ke dokter kandungan. Dokter Ivan namanya. Seorang dokter tua yang sangat teliti. Di samping terkenal karena ketelitiannya juga dikenal dengan tarif di atas rata-rata dokter kandungan pada umumnya. 
Kenapa mesti ke dokter Ivan?
Pada awalnya kami ke dokter Gede.  Atas saran dari sepupu yang biasa kontrol di sana. Niatnya sih ke dokter Ali di Apotek Indra timur rel kereta api Proliman. Sayangnya hari itu tidak buka praktek. Dokter Gedelah yang memeriksa janin perut istri saya yang pertama. Di ruangannya yang bersih, perut istriku di USG. Di layar monitor LCD yang besar, kelihatan jelas perut istriku sudah berisi. Usianya 6 minggu. Kami saling berpandangan. Tersenyum. Alhamdulillah ya Allah atas segala karunia-Mu. Pada malam itu tambah yakin. Istriku benar-benar hamil. Sebelumnya memang dia bilang sudah telat.
Pada suatu malam istriku pendarahan. Badannya dingin beku. Tak tahu mesti berbuat apa. Sampai akhirnya semua jadi panik. Atas saran keluarga, dia dibawa ke rumah sakit Dr Oen Solo Baru. Tiba di rumah sakit langsung ditangani oleh dokter jaga. Setelah melalui beberapa lorong, akhirnya sampai di ruang perawatan intensif. Oleh dokter aku disuruh menunggu di luar. Ibu mertuaku duduk diam. Aku mondar mandir di depan ruangan itu. Pikiranku terus tertuju pada istriku dan janinnya. Sesaat kemudian pintu terbuka dan aku dipersilakan masuk. Aku menyilakan ibu mertuaku dulu untuk masuk. Aku menyusul belakangan. Setelah ibu keluar, aku mendekati istriku. Aku mencium pipinya lembut. Badannya tidak sedingin waktu tadi. Sudah agak rilek. Selimuti aku katanya. Udara dalam ruangan memang sangat dingin. Sepertinya ac-nya ga pernah dimatikan. Baru kemudian ia mengatakan, janinnya tidak apa-apa. Tapi harus bedrest beberapa hari di rumah sakit. Alhamdulillah. 
Atas saran ibu mertuaku, malam itu aku disuruh pulang dulu. Biar dia yang menjaga. Kemungkinan besar istriku di rawat di ruang kelas II. Ruangan ber-ac dengan tiga bed dan ada tvnya. Setelah administrasi selesai, aku pulang ke rumah. Sampai rumah sudah hampir pukul 2 dini hari.
Keesokan harinya, aku pamit tidak masuk kerja. Istri sedang di rumah sakit begitu ijinku. Sebelum berangkat ke rumah sakit aku siapkan beberapa barang bawaan. Terutama pakaian ganti untuk istri dan ibuku. Juga piring gelas dan termos. Sampai di rumah sakit, aku langsung bertanya bagaimana keadaannya. Ia merasa baik dan lebih sehat tapi ia belum mandi. Dokter menyarankan untuk tidak bergerak dan pergi ke mana-mana.Harus tetap di tempat tidur. Bahkan untuk buang air sekalipun. Waduh … pegel banget badan ini katanya. Sepagi itu memang belum ada pemeriksaan dari dokter. Suster bilang nanti siang sekitar jam 2.
Ketika jam menunjukkan pukul 2 siang, beberapa suster datang. Saatnya pemeriksaan dokter. Ranjang didorong keluar melalui lorong-lorong ke tempat praktek dokter. Ketika hampir sampai ke ruangan harus antre dulu sebentar. Banyak pasien yang menunggu. Entah apa semua mau periksa ke dokter kandungan atau bukan. Aku ikut terus hingga masuk ke ruangan praktek. Dengan gerak yang sangat cepat, seperti di film-film Hollywood paramedis bergerak cepat  untuk menyelamatkan korban, suster membuka selimut dan mengoles perut istriku dengan semacam jel. Seorang dokter berperawakan kecil tapi lincah memeriksa dengan usg. Usianya  sudah tidak muda. Namun  tidak mengurangi kegesitannya sebagai dokter. Oh iya, namanya dokter Ivan. Masih ada, tapi jangan bergerak-gerak. Tidur terus di ranjang barang 2-3 hari kata dokter cepat. Tidak sampai 5 menit pemeriksaan selesai. Ranjang dibawa kembali ke ruang perawatan. Hingga 2 hari kemudian istriku baru diperbolehkan pulang.
Jarak satu minggu kemudian harus kontrol lagi. Karena praktek di rumah sakit ramai, maka dipilih periksa di rumah. Kontrol pertama langsung dikasih obat 4 macam. Untuk menguatkan janin, untuk pertumbuhan, untuk perkembangan otak dan untuk vitamin. Per item jumlahnya ada 25 butir. Setiap kali periksa selalu dikasih obat itu. Sampai-sampai istriku muneg untuk minum obat. Pernah suatu ketika sehabis kontrol, Pak Ivan memberikan surat pengantar  untuk tes darah. Maksudnya antisipasi adanya virus tokso. Setelah ditanyakan di tempat tes darah ternyata biayanya lumayan. Hemm. Alhamdulillah hasilnya negatif. Tidak ada virusnya.
Sampai saat ini, kondisi kandungan istriku Alhamdulillah sehat-sehat saja. Mohon doa restunya, mudahan-mudahan Allah selalu melimpahkan rahmat taufik-Nya kepada keluarga kami sehingga kondisi bayi kandungan selalu sehat dan nanti pada hari kelahiran diberi kemudahan dan kelancaran. Amin.


Minggu, 07 November 2010

Binis Kreatif

Dalam versi pemerintah, bisnis kreatif sendiri adalah bentuk usaha bisnis yang mencakup 14 kategori (sektor ekonomi). Diantaranya, periklanan, arsitektur, pasar seni dan barang antik, kerajinan, desain, desain fesyen, video, film dan fotografi, permainan interaktif, musik, seni pertunjukan, penerbitan dan percetakan, layanan komputer dan piranti lunak, televisi dan radio serta riset dan pengembangan.

Sebenarnya, bagaimana kharakteristik bisnis kreatif ini. Berikut sedikit gambarannya:
Pertama, Berbasis ide
Dalam industri kreatif, yang paling utama adalah ide. Jadi bisa dikatakan bahwa bisnis ini adalah bisnis yang berbasis ide. Sebagai contoh misalnya seorang pedagang kopi. Jika kita membeli secangkir kopi di warung-warung kopi, paling banter seharga Rp 2.000 sampai Rp 5.000, ini sebuah harga yang mungkin sudah cukup mahal. Tapi coba lihat sebuah kedai kopi berlabel Starbucks Coffee. Harganya bisa 5 bahkan 10 kali lipat lebih mahal. Apa yang bisa kita petik dari fenomena ini. Dalam industri kreatif, berlaku sebuah rumus bahwa nilai ekonomi suatu produk, jasa, bukan lagi ditentukan oleh bahan bakunya atau sistem produksinya seperti pada era industri, melainkan pada pemanfaatan kreatifitas dan inovasinya.
Bagi anak-anak muda, bisnis ini sangat cocok sebab sesuai dengan kharakteristik umum anak-anak muda. Ide dan kreatifitas adalah dua hal yang melekat dalam diri anak-anak muda. Apalagi kalau melihat ke 14 sektor diatas, rasa-rasanya dunia tersebut sangat dekat bagi meraka. Sehingga, kalau kita mau jeli dan bisa mengambil peluang bisnis ini, sangat terbuka lebar siapapun bisa masuk dan terjun dalam bisnis ini. Beragam latarbelakang pendidikan bisa masuk ke dalamnya. Asalkan mempunyai sebuah skill khusus untuk bergelut pada salah satu dari ke-14 sektor tersebut.
Dalam dunia bisnis, banyak yang meyakini bahwa ide sangat berpengaruh pada kesuksesan bisnis seseorang.“Bahwa uang akan mengalir ke ide-ide hebat”, begitu pernyataan Robert G Allen dalam buku Cracking the millionare Code. Itulah kekuatan ide. Jadi saatnya sekarang, jangan tunggu besok, temukan ide hebat. Dan dari pengalaman para pebisnis, kita tidak usah punya banyak ide-ide hebat. Cukup satu ide bisnis hebat saja. Selanjutnya adalah bagaimana kita mewujudkan ide tersebut.
Kedua, Cukup 3-10 orang
Ini kabar gembiranya. Untuk membuat sebuah usaha dalam lingkup bisnis kreatif, kita tidak harus memerlukan banyak orang. Cukup sedikit orang saja kita sudah bisa menjalankan usaha bisnis ini. Usaha ini bisa dimulai dari ide pribadi lalu mengajak kawan-kawan terdekat yang sekiranya mempunyai ide dan hobi yang sama. Satu hal yang pasti, setiap Sumber Daya Manusia (SDM) mesti punya kompetensi dan keunggulan masing-masing.
Untuk mengoptimalnya kerja-kerja perusahaan, dalam bisnis kreatif ini biasanya menggunakan bantuan perangkat teknologi informasi (khususnya internet). Aktivitas dan pekerjaan dilakukan dengan memanfaatkan misalnya, email, web site (situs), blog sampai situs jejaring sosial semacam facebook. Selanjutnya kita bisa mengadopsi sebuah konsep yang di luar negeri usaha yang demikian sering dinamakan dengan SOHO (Small Office Home Office), yaitu sebuah konsep usaha yang dijalankan dari rumah. Rumah dalam hal ini bisa berarti kost, kontrakan atau apartemen kecil.
Misalnya, di Bandung ada ada dua orang anak muda yang memproduksi sepatu lukis. Hanya dikerjakan oleh dua orang saja. Satu orang bertanggungjawab dalam membuat sepatu lukis sesuai dengan order (pesanan). Sepatu tersebut akan dilukis sesuai dengan permintaan calon pembeli. Satu orang lagi bertugas dalam proses pengenalan produk kepada konsumen, pemasaran dan promosi sampai pada proses transaksi. Mereka menjalankannya lewat sepetak kost/kontrakan. Begitulah, pekerjaan usaha bisnis dijalankan. Tak memerlukan banyak orang, cukup sedikit orang saja, kurang dari 10 orang, bahkan hanya dilakukan 2 orang saja bisa.
Ketiga, Unik dan Beda
Dalam sebuah seminar bisnis kreatif di Universitas Indonesia (UI), Rhenal Khasali seorang pakar marketing pernah menyampaikan sebuah pernyataan menarik. Para pebisnis yang berhasil biasanya memiliki sebuah ide yang unik dan berbeda. Ide bisnis tersebut biasanya bukan semata-mata mendapatkan uang. Ada satu rahasia besar para pebisnis yaitu apa yang dinamakan dedikasi suci. Mereka berbisnis semata-mata tidak hanya mengejar kepentingan pribadi semata (mengejar keuntungan finansial/uang), tapi atas dasar dedikasi suci membantu orang lain. Atau setidaknya ingin memberikan sebuah kemanfaatan bagi orang lain.
Yang demikian itu bisa dikatakan unik dalam hal mindset (pola pikir/latarbelakang pemikiran). Setelahnya, kita juga perlu mengikutinya dengan keunikan dan kebedaan dalam hal produk yang ingin dilepas ke pasar. Cara yang biasa digunakan oleh pebisnis dalam menemukan sebuah bisnis yang unik dan beda adalah dengan formulasi ATM yaitu Amati Tiru Modifikasi. Langkahnya dengan mengamati usaha bisnis yang ada di sekitar tempat tinggal kita, sebuah bisnis yang tampak mendapatkan keuntungan besar, selanjunya meniru, biasa dengan membuka sebuah gerai atau bidang usaha di tempat lain kemudian memodifikasinya agar berbeda dengan yang sudah ada. Tapi, kalau ingin membuat sebuah terobosan besar, ciptakan ide baru, jangan mengikuti ide-ide yang sudah ada. Tentu ini sebuah cita-cita besar, dan hanya orang pilihan saja yang bisa melakukannya. Yakin, Anda sebenarnya juga bisa melakukannya. Kata kuncinya sepertinya kembali pada esensi bisnis yang kita bicarakan ini yaitu kreatifitas.
Nah, dengan kharakteristik diatas, semoga bisa menginspirasi Anda untuk terjun ke dunia bisnis kreatif. Sebuah bisnis yang bisa membuat Anda mendadak jadi miliader. Yakin saja bahwa dengan kerja keras sekaligus kerja cerdas, kita akan bisa meraup keuntungan (uang/finansial) besardari bisnis kreatif ini. Anak-anak muda di Bandung, Jogja, Bali sudah membuktikannya. Jangan mau kalah dengan mereka. Ada sebuah pepatah dari para pebisnis yang sudah berjaya. Kata kuncinya sebenarnya bukan kita bisa atau tidak bisa melakukannya. Tapi kita mau atau tidak mau. Itu saja. Selamat terjun ke dunia bisnis kreatif, sebuah dunia yang penuh tantangan namun tetap mengasyikkan bagi anak muda. (yons.web.id)

Senin, 01 November 2010

Semalam di Polda Metro Jaya

Klik…Klik ….klik suara kilatan blitz kamera photo bersahutan. Memotret separuh badan.
“Selanjutnya …” suara tukang photo.
Aku menghadap kamera sambil memegang papan hitam seperti sabak. Kira-kira besarnya seukuran dobel kwarto. Diletakkan di depan dada. Ada tulisan kapur putih yang menyebutkan nama dan angka-angka. Angka yang dihubungkan dengan pasal pelanggaran. Biasanya sih untuk demonstran dikenai pasal melanggar ketertiban umum. Kemudian menghadap samping dengan posisi yang sama. Bersama dengan berpuluh-puluh kawan dari berbagai kota, hari itu semua demonstran diamankan. Dalam penangkapan yang tergolong singkat, semua dapat diangkut. Kecuali beberapa kawan yang cepat tanggap. Meloloskan diri di sela-sela kerumunan. Sebenarnya ada kesempatan untuk lolos, ketika seorang polisi muda bertanya kepadaku.
“Kamu ikut demo, ya?”
Aku tak tahu mesti jawab bagaimana. Biar bagaimanapun aku harus tetap taat kepada komandan lapangan.
“Iya, ikut demo.” Jawabku sambil melihat ke arah kolap. Kulihat dia bernegosiasi dengan pihak keamanan. Bersitegang dengan mengeluarkan suara yang melengking. Aku hapal betul suara itu, sebab ia adalah temanku waktu di Jogja dulu. Barlian namanya.
Dia adalah lelaki kurus berkaca mata dengan gelang rantai kamprat sepeda motor di tangan. Di kampus selalu berkaos dan bersandal jepit. Rambutnya gondrong ala demonstran. Langkah-langkahnya cepat secepat cara berpikirnya. Dengan tas kainnya ia menenteng buku-buku bacaan wajib para demonstran. Kiri Islam, Catatan Harian Seorang Demonstran, Tafsir Sosial atas Kenyataan, Tan Malaka, Madilog dan Seni Mencinta. Teman-teman banyak yang  tidak menduga kalau dia mampu menakluk Jakarta, ketika ia berkata mau sekolah di Sekolah Filsafat Driyarkara. Kampus elit para filosof Indonesia. Dengan bendera Forkot ia kuasai jalan-jalan Jakarta. Dialah yang mengajakku untuk bergabung menjadi bagian sebuah keluarga. Keluarga Mahasiswa Pecinta Demokrasi. Bisa ditebak keluarga macam apa itu.
Suatu siang ketika pulang dari kampus, ia mengajakku.
“Melu aku ra?,” katanya.
“Kemana?” tanyaku.
“Ke pantai asuhan.”
“Pantai asuhan? Mau apa?”
“Diskusi”
“Diskusi kok ke pantai asuhan?”
“Melu ra?”
Aku mengiyakan sambil mengikuti langkahnya. Menyetop angkutan kota dan melanjutkan dengan ganti angkutan pedesaan. Kiranya sudah ada bebarapa kawan lain yang ikut serta. Tapi tidak saling mengenal. Setelah sampai di jalan tak beraspal kami semua turun. Dia mengisaratkan agar jalan ke pantai asuhan tidak boleh bergerombol. Dua dua. Biar tidak dicurigai. Kurang lebih jalan dua ratus meter sampai di pantai asuhan. Pantai asuhannya tidak begitu besar. Hanya sebuah bangunan tingkat di halaman induk. Di rumah induk itu semua kawan-kawan berkumpul. Semua saling dikenalkan. Mengenalkan diri dari mana asalnya dan dari kampus mana. Ada yang dari Sanata Darma, Atma Jaya, Janabadra, UMY, UII, APMD dan tentu IAIN. Mulai hari itu aku digosok terus dengan istilah demokrasi. Hal yang tabu di era orde baru.
Panitia mengatakan kalau hari ini pembukaan PBL angkatan II. Pelatihan Bakti Lingkungan untuk bekal demonstran. Diskusi sepanjang waktu selama tiga hari. Pada mulanya semua serius. Terpaku dengan penjelasan narasumber. Semakin dicerna semakin rumit semakin menggigit. Ada ideologi politik, politik sebagai panglima, HAM, demokrasi dan demonstrasi. Lama-lama capek juga menjadi serius. Sambil membaca, merokok tiduran semua diperbolehkan. Asalkan tetap menjaga etika dengan yang punya rumah. Bisa kendur kenceng, galak lembut, mengharukan, lucu, dan bisa gila lho. Benar jadi gila. Gila jelas bukan tanggung jawab panitia. Semua terserah kepada individu-individu. Syukurlah jika tidak gila. Kalau gila, resiko.
Dan inilah perjalanan pertamaku ke Jakarta bersama Yana. (Teringat sebuah film Janur Kuning. Seorang anak kecil bertanya pada emaknya. Jakarta itu mana mak? Ya ini, Jakarta.) Dari Jogja naik kereta ekonomi jam enam sore. Tanpa karcis. Buat apa beli karcis kalau di atas bisa nembak, kata temanku. Yana memang sebelumnya pernah ke Jakarta dengan kereta ini. Berangkat jam segini. Kira-kira sampai Jakarta jam enam pagi katanya. Pun ketika ia pulang ke Garut. Ia pasti naik kereta ekonomi. Tanpa karcis. Yana adalah teman se-PBL. Tingginya kira-kira 157 cm. Rambutnya gondrong tanggung. Kuliah di fakultas dakwah. Orasinya menggetarkan. Keras dan terus tak putus-putus. Kalau megaphone dipegang dia, jangan harap bisa kembali. Seru dan garang. Dia juga pernah ditunjuk untuk jadi kepala suku keluarga. Jabatan yang tidak dapat dipegang semua orang. Kuasanya mutlak untuk demo atau tidak. Di samping itu berhak jadi narasumber, pembicara, khotib yang mengisi gerakan mahasiswa di kampus-kampus lainnya. Siapa yang tidak suka dia? (bersambung)

Jumat, 15 Oktober 2010

Loper

Azan subuh sudah berkumandang. Terbangun dari tidur malam yang nyenyak, aku bangkit. Ambil air wudhu. Kos-kosan masih sepi dan remang. Teman kos belum ada yang bangun. Biasanya mereka bangun siang-siang. Karena jadwal kuliah mereka yang tidak sama. Kebanyakan masuk siang. Setelah sholat subuh, aku menuju tempat sepeda. Melewati para blandong (sebutan ibu kos kepada kuli batu harian yang numpang tidur di emperan berselimutkan sarung. Kebanyakan dari Wonosari Gunungkidul) pelan-pelan. Mengeluarkan sepeda dan menuntun sampai pintu gerbang. Segera aku meluncur ke percetakan koran kaer di jalan Mangkubumi. Dengan sepeda, kurang lebih lima belas menit sudah sampai.
Ini adalah hari terakhirku loper koran. Menggantikan teman yang sudah punya pelanggan sekitar duapuluhan orang yang tersebar di daerah pinggiran kota Jogja. Namanya Masrum. Dia pingin mudik ke Jombang.
Di dekat kos-kosan memang ada agen koran yang lumayan besar. Pelangganya kurang lebih seratusan. Anak kos-kosanku semua ditawari jadi loper, termasuk aku. Pada awalnya aku ogah-ogahan menerima tawaran mencari pelanggan. Karena aku tidak hapal peta Jogja. Tidak masalah katanya. Siapa tahu kamu bisa sukses jadi agen bernas. Koran bernas adalah koran baru pada saat itu. Ada sepuluh examplar yang harus aku sebarkan tiap pagi selama satu minggu. Hasilnya satu pelanggan nyantol kepadaku. Aku serahkan kepada agen itu. Aku tak berani melanjutkan. Dan Masrum adalah anak didiknya yang berhasil. Setidaknya punya pelanggan sendiri.
“Gimana, mau nggak ganti aku satu bulan?” katanya suatu saat.
“Mau sih, cuma pelangganmu yang mana aja?”
“Gampang, besok bangun pagi dan ikut aku,” lanjutnya.
Paginya, aku dibangunkan. Aku tidak biasa bangun pagi sebelumnya. Karena mau apa bangun pagi kalau tidak ada yang dikerjakan. Dan mulai hari itu harus membiasakan bangun pagi kalau tidak mau dimarahi pelanggan. Masih gelap benar ketika ia memboncengkan aku di sepeda federalnya. Cara yang termudah untuk memberi tahu pelanggan, ya harus diajak loper. Sesampainya di kaer sudah banyak agen yang datang. Menghitung dan mengepak koran. Kopi panas satu ceret juga sudah siap. Beberapa orang malah duduk-duduk dulu. Ngopi dan merokok. Ada teknik tersendiri agar tatanan koran tidak lecek di tengah jalan. Agar sampai di pelanggan tetap rapi. Lipatan koran harus tetap di bawah ketika koran ditumpuk. Seterusnya demikian hingga sekitar dua puluhan koran. Karena jika terlalu banyak tidak muat dimasukkan tas. Sehingga nanti, jika melemparkan koran tinggal pegang lipatan paling atas dan lempar. Ini pelajaran pertama dari Masrum.
“Piye? Iso to?,” tanyanya padaku.
Wis, isolah …” kataku sekenanya.
Dalam prakteknya memang tidak semulus teori. Pernah suatu ketika aku harus menyembunyikan robekan kecil dalam lipatan. Karena kurang hati-hati dalam menata koran, pas ditarik dari tas …wek…. Sobek.
Mulailah perjalanan pagi itu. Hawa sejuk langsung menerpa wajahku begitu keluar dari kantor kaer. Pagi di Jogja yang belum pernah aku rasakan.  Pertama karena aku jarang atau malah belum pernah bangun sepagi ini. Kedua karena aku belum genap satu semester di Jogja. Masrum menjelaskan jalan dan rumah-rumah pelanggannya satu per satu. Aku harus menghafal jalan, nomor rumah, belokan dan tanjakan dan tentu anjing galak.
Ini adalah akhir perjuanganku. Sebab hasil dari loperku selama satu bulan seratus persen untukku. Tidak dibagi dengan Masrum. Dalam satu bulan menggantikan itu, aku benar-benar merasa beruntung. Bisa menikmati pagi, menghirup udara bersih. Bisa merasakan badan sehat berkeringat, sebelum teman-teman yang lain bangun tidur. Merasakan nikmatnya kopi panas dan sebatang rokok di dingin pagi yang gelap. Bercengkrama dengan sesama tukang loper. Membaca berita utama lebih awal. Dan yang jelas merubah kegiatan pagi dari cuma tidur menjadi sesuatu yang bermanfaat. Dapat uang lagi.
Dan pagi ini aku begitu nggrantes. Setiap lemparan koran ke rumah pelanggan, aku membatin mengucapkan selamat berpisah. Cepat atau lambat perpisahan akan segera terjadi karena yang punya besok sudah datang. Dan tentu ia yang akan mengerjakan pekerjaan mulia ini.
Koran di tas sudah mulai habis. Tinggal beberapa rumah saja yang tersisa. Karena ingin segera merampungkan pekerjaan, sengaja aku melewati jalan pintas. Tidak membelok. Dan tahulah, apa yang terjadi jika memang nekat melanggar larangan. Di depan ada seonggok bayangan hitam. Tidak jelas itu orang jongkok atau apa, karena matahari masih belum terbit. Aku kayuh sepeda pelan-pelan. Untuk memastikan benda apa sebenarnya. Aku pandangi dengan sungguh-sungguh. Dan ….
“Guk ….guk …..guk ….”
Antara spontan dan kaget, aku pacu sepedaku sekuat tenaga. Ada angin hangat yang menerpa kaki. Mulutnya persis di samping pedal sepeda. Gonggongannya tidak pernah berhenti. Terus-menerus menyalak. Memecahkan kesunyian pagi. Memekakkan telinga. Mengagetkan.
Asss*******!!!!!!!!!!!!!
Aku melarikan sepedaku sekencangnya. Tanpa pikir-pikir. Aku tak membayangkan kakiku benar-benar dilumat dan dicokot. Tak membayangkan sepeda jatuh dan ia menubrukku. Tidak membayangkan di depan ada batu besar menjatuhkanku dan ia menatapku dengan mulut berliur. Sejauh mungkin memacu. Tidak boleh menengok ke belakang. Genjot terus. Sampai tidak terdengar suara menggonggong. Tak peduli sandal jatuh, tak peduli koran rusak. Tak peduli. Baru sesudah tidak ada suara lagi, aku berhenti. Mengambil nafas. Turun dari sepeda memandang ke arah  belakang. Tampak di kejauhan seonggok bayangan itu menatapku. Dasar as* batinku.
Aku lebih berkeringat dari biasanya.
Sesampainya di kos aku tiduran. Menanti teman yang akan datang dari Jombang.