biar kata yang bicara

wellcom in jungle of mind

Rabu, 29 September 2010

Aku dan Film


Film pertama yang kutonton adalah Cobra. Bintang utamanya Sylverstone Stallone.
Ciri khas film itu adalah, gaya Stallone memakai kaca mata hitam model bunder dan menggigit pentol korek. Jadilah mode stallone merebak ke mana-mana. Nontonnya di gedung bioskop Pacitan. Harga tiketnya Rp 400,- untuk jam main 3 – 5. Hari Minggu diputar film ekstra show dengan harga Rp 200,-. Main jam 10 – 12 siang.
Nonton film paling terkesan adalah nonton film ketika nonton film itu dilarang. Bukan filmnya yang mengesankan tapi petualangan habis nonton film yang seru. Aku tak ingat tahun berapa. Pastinya hari sudah libur setelah ujian di pondok. Tahun itu memang ada ketentuan santri dilarang nonton film. Baik di gedung bioskop, misbar atau bioskop keliling. Rupanya peraturan itu belum populer di kalangan santri dan sifatnya masih uji coba. Setelah isya berbondong-bondong santri ke gedung kecamatan tempat bioskop keliling memutar film. Tiketnya Rp 200,- untuk satu orang. Tapi ada juga yang bonek. Asal ikut-ikutan masuk dan bilang karcisnya di belakang. Film yang diputar film Indonesia. Kalau tidak salah bintang utamanya Meriam Bellina. Lupa judulnya. Ketika film mulai, gedung seperti mau terbakar. Asap menjulang disela-sela sorot lampu proyektor. Pemandangan khas gedung bioskop kelas rakyat. Tidak ada kursi alias lesehan dan duduk sesukanya. Satu setengah jam kemudian film selesai. Di pintu keluar, aku melihat sosok wajah yang tak asing. Ustadzku. Dengan agak menunduk aku terus saja. Lho kok aneh ya, ustadz berdiri di depan pintu keluar. Masak ustadz juga nonton film. Ada perasaan tidak enak dalam hatiku. Dan benar. Ternyata tidak hanya satu ustadz. Di depan ada satu lagi. Agak menepi di pinggir jalan malah ada ustadz yang naik sepeda motor. Semua dengan serius mengawasi satu per satu penonton yang baru saja keluar gedung bioskop. Wah, gawat nih. Agak berlari, aku lewati beberapa santri yang masih santai jalan bergerombol. Kelihatannya mereka tidak sadar bahwa ada bahaya yang mengancam keselamatan mereka. Spontan aku berteriak “Ada ustadzzzzz……………….” Sambil berlari sekencang-kencangnya. Kontan saja mereka juga ikutan lari. Rupanya yang didepan juga ikutan lari walaupun tidak tahu penyebabnya. Jalanan menjadi hiruk-pikuk karena banyaknya suara gedebag-gedebug. Badanku yang kecil malah tidak bisa mengejar larinya santri-santri yang berbadan gede. Mereka gesit dan cepat melaju. Dari kejauhan kelihatan arak-arakan itu terhenti. Dan deg … dadaku berdesir. Ya ampun ini penangkapan pelaku pelanggaran besar-besaran. Tidak tanggung-tanggung, aku melihat ustadz-ustadz senior juga turun tangan. Secepat kilat aku membelokkan pelarian. Dari jalan menuju rumah penduduk. Terus ke kebonan sembunyi dibalik semak belukar. Dengan nafas terengah-engah aku telungkap. Ada beberapa anak yang ada di sekitarku. Entah siapa saja mereka aku tidak tahu. Gelap. Rupanya pengejaran belum berakhir. Deru sepeda motor ustadz malah semakin mendekat. Menyorotkan lampunya ke segala penjuru. Ada yang berbisik, ayo terus lari sebelum tertangkap. Dan wuss anak tadi sudah pergi entah ke mana.
“Sudah tidak ada, Pak.” Ada suara yang menggema. Sepeda motor pelan-pelan mulai balik ke jalan lagi. Suaranya lamat-lamat menjauh dan menghilang. Hening. Gelap. Aku terus tengkurap masih mencoba memasang indera pendengaran dengan seksama. Sepi. Perlahan bangun dan mengendap-endap mungkin sudah aman. Jalanan sudah lengang. Dengan mantap aku jalan saja. Seperti tidak ada kejadian apa-apa. Nanti kalau tertangkap berarti hari sialku. Sampai di pondok keadaan sudah sepi. Aku sengaja lewat pintu belakang supaya tidak dicurigai habis nonton film. Di asrama seorang sohib tanya kepadaku,”Dari mana, kang?.” Sambil rebahan aku menjawab tenang. “Nonton film.”  

Selasa, 28 September 2010

Aku dan Pondok Tremas

Aku adalah alumni Pondok Tremas http://pondoktremas.com. Sebuah pondok pesantren di kota Pacitan, Jawa Timur. Dengan menggunakan kendaraan umum, butuh 5 jam untuk ke pondok. Sekitar tahun 1985 aku menjadi santri di sana. Dari kecamatan Arjosari ke desa Tremas kira-kira 1 kilometer. Jalan belum beraspal tapi sudah dikeraskan. Listrik masih menggunakan diesel. Jaringan PLN belum masuk. Jadi, setiap jam 12 malam listrik padam. Bagi yang mau sholat atau belajar malam biasanya memakai penerangan teplok atau lilin. Belum banyak anak kecil yang masuk pondok. Kebanyakan sudah lulus dari MTs atau SMA baru masuk pondok. Aku masuk ke Pondok belum sunat/khitan. Kata temanku nanti sunatnya di pondok saja. Maksudnya ikut sunatan masal yang rutin digelar di pondok. Kebetulan pas aku masuk pondok, tidak ada sunatan masal. Demikian juga dua tahun sesudahnya. Padahal aku pingin naun, yaitu tiga kali lebaran tidak pulang ke rumah.  Kebayang nggak bentuknya seperti apa, sudah kelas tiga SMP belum sunat. Begitu selesai naun langsung dipotong. Sekalian syukuran karena telah merampungkan naunnya. (Naun itu berkhidmat di pondok dengan tidak pulang selama tiga lebaran berturut-turut).

Minggu, 26 September 2010

My Daughter

Aku adalah ayah dari Sabrina Nur Maulida. umurnya sekarang 5 tahun lebih 5 bulan. Duduk di bangku TK Nol Besar di RA Kalimosodo. Karena sekolahannya satu lokal dengan ibunya maka tiap berangkat bareng ibunya. Tidak tahu pasti, apakah ini penyebab kurang kemandiriannya apa bukan, karena merasa ditunggui dan merasa punya sekolahan. Belum lama ini, ada kejadian lucu. Tiap hari jumat ada senam bersama dan setelah senam diisi dengan menghafal surat pendek bagi yang berani maju. Entah karena dijanjikan tantenya atau dibisiki akan dibelikan sepeda baru, kalau berani maju ke depan. Dengan sedikit ragu ia beranikan diri maju ke depan dengan temannya. Setelah temannya rampung giliran ia membuka suara. Bismillahirrahmanirrahim … dan huuuuu tiba-tiba ia menangis sejadi-jadinya dan lari mencari ibunya. Apa pasal? Ternyata ada seorang guru yang menertawakan polah anakku tadi. Seolah-olah mengejeknya. Sedih tapi lucu. Hal yang  paling ia benci adalah disuruh mandi atau belajar saat menonton film kartun di tv. Baginya nonton kartun hukumnya sudah jadi wajib.

My Family


Aku adalah suami dari Anita Hendrastuti, SP. SPd.I. Profesinya sebagai guru di Madrasah Ibtidaiyah Walisongo Kalangan. Sekolahanku waktu aku kecil. Riwayat pendidikannya sebenarnya agak aneh. Sebab ia lulusan fakultas pertanian. Bukan dari kependidikan. Ceritanya begini, selepas dari fakultas pertanian ia bingung mau jadi apa. Maka ia ikut kursus menjahit sampai selesai. Pekerjaan pertama yang dibuat adalah sarung bantal kursi. Hasilnya bagus dan  memuaskan. Juga tutup monitor, memendekkan celana dan menambal baju yang robek. Tapi rasanya kok nggak ada pelanggan yang datang untuk menjahitkan baju. Bingung mau menjahit apa lagi, atas saran ibu ia sekolah lagi. Mengambil akta 4 di FKIP UNS selama dua tahun. Kebetulan pada saat itu madrasah butuh guru untuk pelajaran bahasa Inggris. Ia mau saja.Tiap pagi berangkat ke madrasah membukakan pintu dan menguncinya siang hari setelah semua pulang. Sampai di situ, kemudian muncul ketentuan guru madrasah harus bergelar sarjana pendidikan Islam. Dengan susah payah akhirnya mengikuti program sarjana S-1 lagi, (lagi sebab ia sudah selesai di fakultas Pertanian) di STAIMUS. Alhamdulilah kelar. Sekarang tinggal menunggu jerih payahnya untuk di angkat sebagai guru PNS. Meneruskan tradisi orang tuanya. Menjadi guru.

Jumat, 24 September 2010

September

Bulan September, hujan masih saja sering turun. Ini di luar pakem. Biasanya bulan-bulan ini saat gersang-gersangnya. Panas-panasnya. Bahkan ada yang menyebut black September. Istilah yang melukiskan kekelaman tragedi Gerakan 30 September (G 30 S) yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) yang kini sudah dilarang. Tapi, ada juga yang malah menyanyikan September Ceria.
Tak bergeming. Memulai lagi keceriaan yang sudah lama hilang. Masih adakah?