biar kata yang bicara

wellcom in jungle of mind

Minggu, 09 September 2012

Yang Kedua

Ia kami beri nama Ahmad Yazid Tastaftiyan. Kini usianya sudah 12 lapan atau 14 bulan. Sudah bisa berjalan dan mengaji. Tahu gimana ngajinya? Au ... Au ... Au ... sambil duduk dan minta diambilkan Al Quran. Aku selalu teringat waktu kelahirannya. Itu berbeda dengan waktu kelahiran kakaknya, Sabrina Nur Maulida (Ririn). Semalaman menunggui, ternyata belum keluar-keluar aku kecapekan dan pamit mau isitirahat sebentar. Di ruang lain yang sedang kosong aku merebahkan badan. Aku ketiduran. Belum berapa lama, Aku dibangunkan katanya anak pertama sudah lahir. Alhamdulillah.
Tapi untuk anak keduaku ini, aku berniat mengikuti prosesnya dari awal. Ketika tengah malam ada pergerakan langsung semua siap-siap. Dari rumah berangkat jam 5 pagi. Kali ini mau lahiran di rumah sakit. Beda dengan di rumah bidan, sekali datang langsung diperiksa semuanya. Sudah buka berapa, tes darah dan diperiksa tekanan darahnya. Setelah administrasinya diisi semua. Langsung dibawa ke ruang bersalin. Hanya yang mau bersalin yang boleh masuk dan satu orang penunggu. Barang bawaan dibongkar diruang tunggu. Ambilkan handuk, sabun, sikat gigi dan sampo. Harap tunggu diluar ya pak. Itulah beberapa perintah-perintah perawat yang menjagai istriku.
Aku belum diizinkan masuk. Hanya ibuku. Selang beberapa saat ibuku keluar. Gantian aku yang masuk. Ada perasaan senyap memasuki ruang bersalin. Di ruang lain ada suara yang sedang mengejang. Mau lahiran kayaknya. Aku masuk ke kamar bersalin. Antara kamar satu dan yang lain cuma disekat kain yang digantung gorden membentuk segi empat. Aku lihat istriku sudah mandi dan berbau wangi.
"Suruh mandi dan gosok gigi kata perawatnya biar wangi"
"Dokter belum datang?"
"Belum"
Memang semua tergantung sama dokternya. Namanya dr. Ivan. Sampai jam 11 siang belum nongol juga. Air putih yang didoakan datang. Untuk memperlancar kelahiran katanya. Istriku meminum separo. Sampai jam segitu juga belum ada tanda-tanda mau keluar jabang bayinya. Kira-kira tengah hari dokternya datang, melihat kondisi istriku.
"Dipacu ya bu? "
Kemudian dokter memberi penjelasan kalau dipacu itu untuk membantu ibu yang melahirkan biar tidak kecapaian. Karena sudah sejak semalaman merasakan sakit. Khawatir nanti pas melahirkan sudah tidak bertenaga. Dokter mempersilakan kami semua menimbang usulan ini. Aku beritahukan ibu bahwa ini akan dipacu. Akhirnya kami setuju dipacu.
Setelah dipacu, sebentar-bentar terasa sakit. Dan suara dari alat pedeteksi janin semakin sering terdengar gaduh. Selang setengah jam, istriku merasakan sakit yang luar biasa. Ia menyuruh saya memanggil suster.
Suster datang dan menyuruh saya keluar. Sebentar kemudian suster keluar lagi. Ia memanggil teman-temannya. Ruangan yang semula tenang menjadi ramai kayak pasar. Ada sekitar enam suster yang berlalu lalang di ruangan istriku. Semua sibuk. Ada mendorong meja roda. Ada membawa selimut. Ada yang menulis.
Aku semakin panik ketika mulai mendengar suara-suara yang mengerang. Kesakitan. Duh gusti ...
"Mbak boleh saya menunggui?" tanya saya.
"Sebentar ya pak, silakan isi formulir ini dulu." kata suster.
Aku cepat-cepat mengisi. Aku terus mendengar suara-suara itu. Aku berdiri. Mondar-mandir. Tapi tidak merokok. Ruangan ber-Ac tidak boleh merokok. Dokter belum juga datang. Kemana dokter itu? Di ruangan itu suara istriku dan suster silih berganti bersautan. Satunya memberi aba-aba, satunya mengejang. Pikiranku kacau.
Dokter datang, suasana semakin menjadi. Suara istriku sudah mengalahkan suara suster yang memberi aba-aba. Dan tiba-tiba ... pecahlah tangisan suara bayi.
"Silakan masuk bapak ..." seorang suster keluar.
Aku mencari istriku. Ia tersenyum. Aku menangis. Hu ... hu .... Aku haru. Aku syahdu. Aku bersyukur semua selamat. Kemudian aku melihat jabang bayi merah anakku. Masih belepotan darah dan mulai dibersih-bersihkan.
Aku disuruh mengikuti suster yang membawa bayi mungil itu. Aku ditunjukkin kelaminnya, jari-jari tangan kaki semua normal. Juga diukur berat badan dan tinggi badannya. Terus di kasih gelang plastik. Aku dipersilahkan mengazani dan iqomah di telinganya. Setelah selesai ia dimasukkan ke dalam kotak kaca bercahaya. Ketika ia diletakkan di samping tempat tidur ibunya, ia bergerak-gerak. Ibunya hanya tersenyum.

Selasa, 19 Juni 2012

Nyangkul Lagi


Musim tanam segera tiba. Saat ini sudah banyak petani yang mulai menebar benih di persemaian. Banyak petani berharap, musim tanam kedua hasil pertanian meningkat dari MT I kemarin. Karena biasanya gabah yang dihasilkan di musim kemarau lebih berisi dan banyak. Pada MT 2 ini aku menebarkan benih SS. Kata Pak Lik, benih itu anaknya banyak yang berarti banyak padinya. Pengalaman dari benih Ciherang yang ditanam kemarin hasilnya kurang menggembirakan. Malah pas mau panen diterjang angin puting beliung. Waduh ... Nggak jadi deh aku menuliskan di sini. Terlalu galau. Aku mendokumentasikan setiap pertumbuhan padiku kala itu. Dan puncaknya adalah nanti di masa panen. Tapi alam berkata lain. Tidak gagal sih. Cuma kurang sempurna.
Di musim yang mulai kering ini, alhamdulillah air di tempatku masih gampang. Bahkan melimpah. Benih di persemaian gampang diairi. Dilep istilahnya. Masih ada 1 pekerjaan yang belum dikerjakan. Mopok. Itu semacam menambalkan galengan atau pematang dengan tanah basah. Maksudnya agar ada yang terbarukan di pematang yang cukup kuat untuk lalu lalang orang. Setelah itu baru nanti tanah sawah dihaluskan atau diratakan untuk ditanami padi.
Semua petani berharap panen kali ini bisa meningkat hasilnya. Semoga.

Minggu, 26 Februari 2012

Yuk ke Sawah


       Pagi tadi Ririn ngajak jalan-jalan. Biasa, minggu pagi selalu menagih janji untuk jalan-jalan. Walaupun hanya sekedar mengelilingi kampung. Kali ini rutenya ke sawah. Sekalian ganti bumbung (saluran air dari bambu) yang hilang entah kemana.
         “Kok ke sawah, Pak?” tanya Ririn.
         “Ndak papa  tho, sekali-kali ke sawah,” jawabku.
         “Kamu nanti bisa lihat traktor, kuntul (sejenis burung bangau), dan padi yang baru ditanam”
      Kukayuh sepeda onthelku di kesejukan pagi. Musim tanam tahun ini, aku memang yang ngerjakan sawah. Setelah beberapa tahun sebelumnya digarapkan kepada orang lain. Sebagai petani baru, aku cukup pede untuk segala hal yang berhubungan dengan pertanian. Padahal secuil pun aku tak paham menggarap sawah.
      Sesampainya di sawah, Ririn bilang mau ikut turun ke sawah. Aku bilang jangan. Sebab aku cuma mau ganti bumbung. Setelah selesai dan memastikan airnya lancar aku kembali bersepeda. Kali ini ke pematang seberang. Jalannya memutar dan harus melewati balai desa.
      Kebetulan waktu itu ada traktor yang sedang menggaru (menghaluskan tanah sawah sebelum di Tanami padi).
        “Itu lho, yang namanya traktor,” kataku padanya.
        “Oh, itu yang namanya traktor,” jawab Ririn sambil bengong.
         “Kamu lihat terus, hapalkan nanti sampai rumah di gambar.”
    Ririn memang suka menggambar. Minatnya pada coret-coret sangat besar. Sampai-sampai waktu belajarpun digunakan untuk menggambar. Aku kadang tidak tega untuk melarangnya menggambar. Padahal seminggu sekali ia diles menggambar. Koleksi gambarnya sudah ada 20-an, selain gambar-gambar yang berserakan dimana-mana. Cuma, aku mau bilang apa.
      Setelah memutari pematang, kami pulang. Sepertinya tanaman yang sudah berumur 7 hari ini baik-baik saja. Tinggal nanti setelah 10 hari harus diberi pupuk.
Buruh tandur menyelesaikan tanam padi di sawah
      Di balai desa ramai sekali anak-anak pramuka dari SMK Taman Siswa Sukoharjo. Katanya kemah di bumi perkemahan waduk Mulur. Tapi menginap di kantor balai desa karena cuaca hujan.