biar kata yang bicara

wellcom in jungle of mind

Minggu, 07 November 2010

Binis Kreatif

Dalam versi pemerintah, bisnis kreatif sendiri adalah bentuk usaha bisnis yang mencakup 14 kategori (sektor ekonomi). Diantaranya, periklanan, arsitektur, pasar seni dan barang antik, kerajinan, desain, desain fesyen, video, film dan fotografi, permainan interaktif, musik, seni pertunjukan, penerbitan dan percetakan, layanan komputer dan piranti lunak, televisi dan radio serta riset dan pengembangan.

Sebenarnya, bagaimana kharakteristik bisnis kreatif ini. Berikut sedikit gambarannya:
Pertama, Berbasis ide
Dalam industri kreatif, yang paling utama adalah ide. Jadi bisa dikatakan bahwa bisnis ini adalah bisnis yang berbasis ide. Sebagai contoh misalnya seorang pedagang kopi. Jika kita membeli secangkir kopi di warung-warung kopi, paling banter seharga Rp 2.000 sampai Rp 5.000, ini sebuah harga yang mungkin sudah cukup mahal. Tapi coba lihat sebuah kedai kopi berlabel Starbucks Coffee. Harganya bisa 5 bahkan 10 kali lipat lebih mahal. Apa yang bisa kita petik dari fenomena ini. Dalam industri kreatif, berlaku sebuah rumus bahwa nilai ekonomi suatu produk, jasa, bukan lagi ditentukan oleh bahan bakunya atau sistem produksinya seperti pada era industri, melainkan pada pemanfaatan kreatifitas dan inovasinya.
Bagi anak-anak muda, bisnis ini sangat cocok sebab sesuai dengan kharakteristik umum anak-anak muda. Ide dan kreatifitas adalah dua hal yang melekat dalam diri anak-anak muda. Apalagi kalau melihat ke 14 sektor diatas, rasa-rasanya dunia tersebut sangat dekat bagi meraka. Sehingga, kalau kita mau jeli dan bisa mengambil peluang bisnis ini, sangat terbuka lebar siapapun bisa masuk dan terjun dalam bisnis ini. Beragam latarbelakang pendidikan bisa masuk ke dalamnya. Asalkan mempunyai sebuah skill khusus untuk bergelut pada salah satu dari ke-14 sektor tersebut.
Dalam dunia bisnis, banyak yang meyakini bahwa ide sangat berpengaruh pada kesuksesan bisnis seseorang.“Bahwa uang akan mengalir ke ide-ide hebat”, begitu pernyataan Robert G Allen dalam buku Cracking the millionare Code. Itulah kekuatan ide. Jadi saatnya sekarang, jangan tunggu besok, temukan ide hebat. Dan dari pengalaman para pebisnis, kita tidak usah punya banyak ide-ide hebat. Cukup satu ide bisnis hebat saja. Selanjutnya adalah bagaimana kita mewujudkan ide tersebut.
Kedua, Cukup 3-10 orang
Ini kabar gembiranya. Untuk membuat sebuah usaha dalam lingkup bisnis kreatif, kita tidak harus memerlukan banyak orang. Cukup sedikit orang saja kita sudah bisa menjalankan usaha bisnis ini. Usaha ini bisa dimulai dari ide pribadi lalu mengajak kawan-kawan terdekat yang sekiranya mempunyai ide dan hobi yang sama. Satu hal yang pasti, setiap Sumber Daya Manusia (SDM) mesti punya kompetensi dan keunggulan masing-masing.
Untuk mengoptimalnya kerja-kerja perusahaan, dalam bisnis kreatif ini biasanya menggunakan bantuan perangkat teknologi informasi (khususnya internet). Aktivitas dan pekerjaan dilakukan dengan memanfaatkan misalnya, email, web site (situs), blog sampai situs jejaring sosial semacam facebook. Selanjutnya kita bisa mengadopsi sebuah konsep yang di luar negeri usaha yang demikian sering dinamakan dengan SOHO (Small Office Home Office), yaitu sebuah konsep usaha yang dijalankan dari rumah. Rumah dalam hal ini bisa berarti kost, kontrakan atau apartemen kecil.
Misalnya, di Bandung ada ada dua orang anak muda yang memproduksi sepatu lukis. Hanya dikerjakan oleh dua orang saja. Satu orang bertanggungjawab dalam membuat sepatu lukis sesuai dengan order (pesanan). Sepatu tersebut akan dilukis sesuai dengan permintaan calon pembeli. Satu orang lagi bertugas dalam proses pengenalan produk kepada konsumen, pemasaran dan promosi sampai pada proses transaksi. Mereka menjalankannya lewat sepetak kost/kontrakan. Begitulah, pekerjaan usaha bisnis dijalankan. Tak memerlukan banyak orang, cukup sedikit orang saja, kurang dari 10 orang, bahkan hanya dilakukan 2 orang saja bisa.
Ketiga, Unik dan Beda
Dalam sebuah seminar bisnis kreatif di Universitas Indonesia (UI), Rhenal Khasali seorang pakar marketing pernah menyampaikan sebuah pernyataan menarik. Para pebisnis yang berhasil biasanya memiliki sebuah ide yang unik dan berbeda. Ide bisnis tersebut biasanya bukan semata-mata mendapatkan uang. Ada satu rahasia besar para pebisnis yaitu apa yang dinamakan dedikasi suci. Mereka berbisnis semata-mata tidak hanya mengejar kepentingan pribadi semata (mengejar keuntungan finansial/uang), tapi atas dasar dedikasi suci membantu orang lain. Atau setidaknya ingin memberikan sebuah kemanfaatan bagi orang lain.
Yang demikian itu bisa dikatakan unik dalam hal mindset (pola pikir/latarbelakang pemikiran). Setelahnya, kita juga perlu mengikutinya dengan keunikan dan kebedaan dalam hal produk yang ingin dilepas ke pasar. Cara yang biasa digunakan oleh pebisnis dalam menemukan sebuah bisnis yang unik dan beda adalah dengan formulasi ATM yaitu Amati Tiru Modifikasi. Langkahnya dengan mengamati usaha bisnis yang ada di sekitar tempat tinggal kita, sebuah bisnis yang tampak mendapatkan keuntungan besar, selanjunya meniru, biasa dengan membuka sebuah gerai atau bidang usaha di tempat lain kemudian memodifikasinya agar berbeda dengan yang sudah ada. Tapi, kalau ingin membuat sebuah terobosan besar, ciptakan ide baru, jangan mengikuti ide-ide yang sudah ada. Tentu ini sebuah cita-cita besar, dan hanya orang pilihan saja yang bisa melakukannya. Yakin, Anda sebenarnya juga bisa melakukannya. Kata kuncinya sepertinya kembali pada esensi bisnis yang kita bicarakan ini yaitu kreatifitas.
Nah, dengan kharakteristik diatas, semoga bisa menginspirasi Anda untuk terjun ke dunia bisnis kreatif. Sebuah bisnis yang bisa membuat Anda mendadak jadi miliader. Yakin saja bahwa dengan kerja keras sekaligus kerja cerdas, kita akan bisa meraup keuntungan (uang/finansial) besardari bisnis kreatif ini. Anak-anak muda di Bandung, Jogja, Bali sudah membuktikannya. Jangan mau kalah dengan mereka. Ada sebuah pepatah dari para pebisnis yang sudah berjaya. Kata kuncinya sebenarnya bukan kita bisa atau tidak bisa melakukannya. Tapi kita mau atau tidak mau. Itu saja. Selamat terjun ke dunia bisnis kreatif, sebuah dunia yang penuh tantangan namun tetap mengasyikkan bagi anak muda. (yons.web.id)

Senin, 01 November 2010

Semalam di Polda Metro Jaya

Klik…Klik ….klik suara kilatan blitz kamera photo bersahutan. Memotret separuh badan.
“Selanjutnya …” suara tukang photo.
Aku menghadap kamera sambil memegang papan hitam seperti sabak. Kira-kira besarnya seukuran dobel kwarto. Diletakkan di depan dada. Ada tulisan kapur putih yang menyebutkan nama dan angka-angka. Angka yang dihubungkan dengan pasal pelanggaran. Biasanya sih untuk demonstran dikenai pasal melanggar ketertiban umum. Kemudian menghadap samping dengan posisi yang sama. Bersama dengan berpuluh-puluh kawan dari berbagai kota, hari itu semua demonstran diamankan. Dalam penangkapan yang tergolong singkat, semua dapat diangkut. Kecuali beberapa kawan yang cepat tanggap. Meloloskan diri di sela-sela kerumunan. Sebenarnya ada kesempatan untuk lolos, ketika seorang polisi muda bertanya kepadaku.
“Kamu ikut demo, ya?”
Aku tak tahu mesti jawab bagaimana. Biar bagaimanapun aku harus tetap taat kepada komandan lapangan.
“Iya, ikut demo.” Jawabku sambil melihat ke arah kolap. Kulihat dia bernegosiasi dengan pihak keamanan. Bersitegang dengan mengeluarkan suara yang melengking. Aku hapal betul suara itu, sebab ia adalah temanku waktu di Jogja dulu. Barlian namanya.
Dia adalah lelaki kurus berkaca mata dengan gelang rantai kamprat sepeda motor di tangan. Di kampus selalu berkaos dan bersandal jepit. Rambutnya gondrong ala demonstran. Langkah-langkahnya cepat secepat cara berpikirnya. Dengan tas kainnya ia menenteng buku-buku bacaan wajib para demonstran. Kiri Islam, Catatan Harian Seorang Demonstran, Tafsir Sosial atas Kenyataan, Tan Malaka, Madilog dan Seni Mencinta. Teman-teman banyak yang  tidak menduga kalau dia mampu menakluk Jakarta, ketika ia berkata mau sekolah di Sekolah Filsafat Driyarkara. Kampus elit para filosof Indonesia. Dengan bendera Forkot ia kuasai jalan-jalan Jakarta. Dialah yang mengajakku untuk bergabung menjadi bagian sebuah keluarga. Keluarga Mahasiswa Pecinta Demokrasi. Bisa ditebak keluarga macam apa itu.
Suatu siang ketika pulang dari kampus, ia mengajakku.
“Melu aku ra?,” katanya.
“Kemana?” tanyaku.
“Ke pantai asuhan.”
“Pantai asuhan? Mau apa?”
“Diskusi”
“Diskusi kok ke pantai asuhan?”
“Melu ra?”
Aku mengiyakan sambil mengikuti langkahnya. Menyetop angkutan kota dan melanjutkan dengan ganti angkutan pedesaan. Kiranya sudah ada bebarapa kawan lain yang ikut serta. Tapi tidak saling mengenal. Setelah sampai di jalan tak beraspal kami semua turun. Dia mengisaratkan agar jalan ke pantai asuhan tidak boleh bergerombol. Dua dua. Biar tidak dicurigai. Kurang lebih jalan dua ratus meter sampai di pantai asuhan. Pantai asuhannya tidak begitu besar. Hanya sebuah bangunan tingkat di halaman induk. Di rumah induk itu semua kawan-kawan berkumpul. Semua saling dikenalkan. Mengenalkan diri dari mana asalnya dan dari kampus mana. Ada yang dari Sanata Darma, Atma Jaya, Janabadra, UMY, UII, APMD dan tentu IAIN. Mulai hari itu aku digosok terus dengan istilah demokrasi. Hal yang tabu di era orde baru.
Panitia mengatakan kalau hari ini pembukaan PBL angkatan II. Pelatihan Bakti Lingkungan untuk bekal demonstran. Diskusi sepanjang waktu selama tiga hari. Pada mulanya semua serius. Terpaku dengan penjelasan narasumber. Semakin dicerna semakin rumit semakin menggigit. Ada ideologi politik, politik sebagai panglima, HAM, demokrasi dan demonstrasi. Lama-lama capek juga menjadi serius. Sambil membaca, merokok tiduran semua diperbolehkan. Asalkan tetap menjaga etika dengan yang punya rumah. Bisa kendur kenceng, galak lembut, mengharukan, lucu, dan bisa gila lho. Benar jadi gila. Gila jelas bukan tanggung jawab panitia. Semua terserah kepada individu-individu. Syukurlah jika tidak gila. Kalau gila, resiko.
Dan inilah perjalanan pertamaku ke Jakarta bersama Yana. (Teringat sebuah film Janur Kuning. Seorang anak kecil bertanya pada emaknya. Jakarta itu mana mak? Ya ini, Jakarta.) Dari Jogja naik kereta ekonomi jam enam sore. Tanpa karcis. Buat apa beli karcis kalau di atas bisa nembak, kata temanku. Yana memang sebelumnya pernah ke Jakarta dengan kereta ini. Berangkat jam segini. Kira-kira sampai Jakarta jam enam pagi katanya. Pun ketika ia pulang ke Garut. Ia pasti naik kereta ekonomi. Tanpa karcis. Yana adalah teman se-PBL. Tingginya kira-kira 157 cm. Rambutnya gondrong tanggung. Kuliah di fakultas dakwah. Orasinya menggetarkan. Keras dan terus tak putus-putus. Kalau megaphone dipegang dia, jangan harap bisa kembali. Seru dan garang. Dia juga pernah ditunjuk untuk jadi kepala suku keluarga. Jabatan yang tidak dapat dipegang semua orang. Kuasanya mutlak untuk demo atau tidak. Di samping itu berhak jadi narasumber, pembicara, khotib yang mengisi gerakan mahasiswa di kampus-kampus lainnya. Siapa yang tidak suka dia? (bersambung)