biar kata yang bicara

wellcom in jungle of mind

Senin, 01 November 2010

Semalam di Polda Metro Jaya

Klik…Klik ….klik suara kilatan blitz kamera photo bersahutan. Memotret separuh badan.
“Selanjutnya …” suara tukang photo.
Aku menghadap kamera sambil memegang papan hitam seperti sabak. Kira-kira besarnya seukuran dobel kwarto. Diletakkan di depan dada. Ada tulisan kapur putih yang menyebutkan nama dan angka-angka. Angka yang dihubungkan dengan pasal pelanggaran. Biasanya sih untuk demonstran dikenai pasal melanggar ketertiban umum. Kemudian menghadap samping dengan posisi yang sama. Bersama dengan berpuluh-puluh kawan dari berbagai kota, hari itu semua demonstran diamankan. Dalam penangkapan yang tergolong singkat, semua dapat diangkut. Kecuali beberapa kawan yang cepat tanggap. Meloloskan diri di sela-sela kerumunan. Sebenarnya ada kesempatan untuk lolos, ketika seorang polisi muda bertanya kepadaku.
“Kamu ikut demo, ya?”
Aku tak tahu mesti jawab bagaimana. Biar bagaimanapun aku harus tetap taat kepada komandan lapangan.
“Iya, ikut demo.” Jawabku sambil melihat ke arah kolap. Kulihat dia bernegosiasi dengan pihak keamanan. Bersitegang dengan mengeluarkan suara yang melengking. Aku hapal betul suara itu, sebab ia adalah temanku waktu di Jogja dulu. Barlian namanya.
Dia adalah lelaki kurus berkaca mata dengan gelang rantai kamprat sepeda motor di tangan. Di kampus selalu berkaos dan bersandal jepit. Rambutnya gondrong ala demonstran. Langkah-langkahnya cepat secepat cara berpikirnya. Dengan tas kainnya ia menenteng buku-buku bacaan wajib para demonstran. Kiri Islam, Catatan Harian Seorang Demonstran, Tafsir Sosial atas Kenyataan, Tan Malaka, Madilog dan Seni Mencinta. Teman-teman banyak yang  tidak menduga kalau dia mampu menakluk Jakarta, ketika ia berkata mau sekolah di Sekolah Filsafat Driyarkara. Kampus elit para filosof Indonesia. Dengan bendera Forkot ia kuasai jalan-jalan Jakarta. Dialah yang mengajakku untuk bergabung menjadi bagian sebuah keluarga. Keluarga Mahasiswa Pecinta Demokrasi. Bisa ditebak keluarga macam apa itu.
Suatu siang ketika pulang dari kampus, ia mengajakku.
“Melu aku ra?,” katanya.
“Kemana?” tanyaku.
“Ke pantai asuhan.”
“Pantai asuhan? Mau apa?”
“Diskusi”
“Diskusi kok ke pantai asuhan?”
“Melu ra?”
Aku mengiyakan sambil mengikuti langkahnya. Menyetop angkutan kota dan melanjutkan dengan ganti angkutan pedesaan. Kiranya sudah ada bebarapa kawan lain yang ikut serta. Tapi tidak saling mengenal. Setelah sampai di jalan tak beraspal kami semua turun. Dia mengisaratkan agar jalan ke pantai asuhan tidak boleh bergerombol. Dua dua. Biar tidak dicurigai. Kurang lebih jalan dua ratus meter sampai di pantai asuhan. Pantai asuhannya tidak begitu besar. Hanya sebuah bangunan tingkat di halaman induk. Di rumah induk itu semua kawan-kawan berkumpul. Semua saling dikenalkan. Mengenalkan diri dari mana asalnya dan dari kampus mana. Ada yang dari Sanata Darma, Atma Jaya, Janabadra, UMY, UII, APMD dan tentu IAIN. Mulai hari itu aku digosok terus dengan istilah demokrasi. Hal yang tabu di era orde baru.
Panitia mengatakan kalau hari ini pembukaan PBL angkatan II. Pelatihan Bakti Lingkungan untuk bekal demonstran. Diskusi sepanjang waktu selama tiga hari. Pada mulanya semua serius. Terpaku dengan penjelasan narasumber. Semakin dicerna semakin rumit semakin menggigit. Ada ideologi politik, politik sebagai panglima, HAM, demokrasi dan demonstrasi. Lama-lama capek juga menjadi serius. Sambil membaca, merokok tiduran semua diperbolehkan. Asalkan tetap menjaga etika dengan yang punya rumah. Bisa kendur kenceng, galak lembut, mengharukan, lucu, dan bisa gila lho. Benar jadi gila. Gila jelas bukan tanggung jawab panitia. Semua terserah kepada individu-individu. Syukurlah jika tidak gila. Kalau gila, resiko.
Dan inilah perjalanan pertamaku ke Jakarta bersama Yana. (Teringat sebuah film Janur Kuning. Seorang anak kecil bertanya pada emaknya. Jakarta itu mana mak? Ya ini, Jakarta.) Dari Jogja naik kereta ekonomi jam enam sore. Tanpa karcis. Buat apa beli karcis kalau di atas bisa nembak, kata temanku. Yana memang sebelumnya pernah ke Jakarta dengan kereta ini. Berangkat jam segini. Kira-kira sampai Jakarta jam enam pagi katanya. Pun ketika ia pulang ke Garut. Ia pasti naik kereta ekonomi. Tanpa karcis. Yana adalah teman se-PBL. Tingginya kira-kira 157 cm. Rambutnya gondrong tanggung. Kuliah di fakultas dakwah. Orasinya menggetarkan. Keras dan terus tak putus-putus. Kalau megaphone dipegang dia, jangan harap bisa kembali. Seru dan garang. Dia juga pernah ditunjuk untuk jadi kepala suku keluarga. Jabatan yang tidak dapat dipegang semua orang. Kuasanya mutlak untuk demo atau tidak. Di samping itu berhak jadi narasumber, pembicara, khotib yang mengisi gerakan mahasiswa di kampus-kampus lainnya. Siapa yang tidak suka dia? (bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar