biar kata yang bicara

wellcom in jungle of mind

Jumat, 15 Oktober 2010

Loper

Azan subuh sudah berkumandang. Terbangun dari tidur malam yang nyenyak, aku bangkit. Ambil air wudhu. Kos-kosan masih sepi dan remang. Teman kos belum ada yang bangun. Biasanya mereka bangun siang-siang. Karena jadwal kuliah mereka yang tidak sama. Kebanyakan masuk siang. Setelah sholat subuh, aku menuju tempat sepeda. Melewati para blandong (sebutan ibu kos kepada kuli batu harian yang numpang tidur di emperan berselimutkan sarung. Kebanyakan dari Wonosari Gunungkidul) pelan-pelan. Mengeluarkan sepeda dan menuntun sampai pintu gerbang. Segera aku meluncur ke percetakan koran kaer di jalan Mangkubumi. Dengan sepeda, kurang lebih lima belas menit sudah sampai.
Ini adalah hari terakhirku loper koran. Menggantikan teman yang sudah punya pelanggan sekitar duapuluhan orang yang tersebar di daerah pinggiran kota Jogja. Namanya Masrum. Dia pingin mudik ke Jombang.
Di dekat kos-kosan memang ada agen koran yang lumayan besar. Pelangganya kurang lebih seratusan. Anak kos-kosanku semua ditawari jadi loper, termasuk aku. Pada awalnya aku ogah-ogahan menerima tawaran mencari pelanggan. Karena aku tidak hapal peta Jogja. Tidak masalah katanya. Siapa tahu kamu bisa sukses jadi agen bernas. Koran bernas adalah koran baru pada saat itu. Ada sepuluh examplar yang harus aku sebarkan tiap pagi selama satu minggu. Hasilnya satu pelanggan nyantol kepadaku. Aku serahkan kepada agen itu. Aku tak berani melanjutkan. Dan Masrum adalah anak didiknya yang berhasil. Setidaknya punya pelanggan sendiri.
“Gimana, mau nggak ganti aku satu bulan?” katanya suatu saat.
“Mau sih, cuma pelangganmu yang mana aja?”
“Gampang, besok bangun pagi dan ikut aku,” lanjutnya.
Paginya, aku dibangunkan. Aku tidak biasa bangun pagi sebelumnya. Karena mau apa bangun pagi kalau tidak ada yang dikerjakan. Dan mulai hari itu harus membiasakan bangun pagi kalau tidak mau dimarahi pelanggan. Masih gelap benar ketika ia memboncengkan aku di sepeda federalnya. Cara yang termudah untuk memberi tahu pelanggan, ya harus diajak loper. Sesampainya di kaer sudah banyak agen yang datang. Menghitung dan mengepak koran. Kopi panas satu ceret juga sudah siap. Beberapa orang malah duduk-duduk dulu. Ngopi dan merokok. Ada teknik tersendiri agar tatanan koran tidak lecek di tengah jalan. Agar sampai di pelanggan tetap rapi. Lipatan koran harus tetap di bawah ketika koran ditumpuk. Seterusnya demikian hingga sekitar dua puluhan koran. Karena jika terlalu banyak tidak muat dimasukkan tas. Sehingga nanti, jika melemparkan koran tinggal pegang lipatan paling atas dan lempar. Ini pelajaran pertama dari Masrum.
“Piye? Iso to?,” tanyanya padaku.
Wis, isolah …” kataku sekenanya.
Dalam prakteknya memang tidak semulus teori. Pernah suatu ketika aku harus menyembunyikan robekan kecil dalam lipatan. Karena kurang hati-hati dalam menata koran, pas ditarik dari tas …wek…. Sobek.
Mulailah perjalanan pagi itu. Hawa sejuk langsung menerpa wajahku begitu keluar dari kantor kaer. Pagi di Jogja yang belum pernah aku rasakan.  Pertama karena aku jarang atau malah belum pernah bangun sepagi ini. Kedua karena aku belum genap satu semester di Jogja. Masrum menjelaskan jalan dan rumah-rumah pelanggannya satu per satu. Aku harus menghafal jalan, nomor rumah, belokan dan tanjakan dan tentu anjing galak.
Ini adalah akhir perjuanganku. Sebab hasil dari loperku selama satu bulan seratus persen untukku. Tidak dibagi dengan Masrum. Dalam satu bulan menggantikan itu, aku benar-benar merasa beruntung. Bisa menikmati pagi, menghirup udara bersih. Bisa merasakan badan sehat berkeringat, sebelum teman-teman yang lain bangun tidur. Merasakan nikmatnya kopi panas dan sebatang rokok di dingin pagi yang gelap. Bercengkrama dengan sesama tukang loper. Membaca berita utama lebih awal. Dan yang jelas merubah kegiatan pagi dari cuma tidur menjadi sesuatu yang bermanfaat. Dapat uang lagi.
Dan pagi ini aku begitu nggrantes. Setiap lemparan koran ke rumah pelanggan, aku membatin mengucapkan selamat berpisah. Cepat atau lambat perpisahan akan segera terjadi karena yang punya besok sudah datang. Dan tentu ia yang akan mengerjakan pekerjaan mulia ini.
Koran di tas sudah mulai habis. Tinggal beberapa rumah saja yang tersisa. Karena ingin segera merampungkan pekerjaan, sengaja aku melewati jalan pintas. Tidak membelok. Dan tahulah, apa yang terjadi jika memang nekat melanggar larangan. Di depan ada seonggok bayangan hitam. Tidak jelas itu orang jongkok atau apa, karena matahari masih belum terbit. Aku kayuh sepeda pelan-pelan. Untuk memastikan benda apa sebenarnya. Aku pandangi dengan sungguh-sungguh. Dan ….
“Guk ….guk …..guk ….”
Antara spontan dan kaget, aku pacu sepedaku sekuat tenaga. Ada angin hangat yang menerpa kaki. Mulutnya persis di samping pedal sepeda. Gonggongannya tidak pernah berhenti. Terus-menerus menyalak. Memecahkan kesunyian pagi. Memekakkan telinga. Mengagetkan.
Asss*******!!!!!!!!!!!!!
Aku melarikan sepedaku sekencangnya. Tanpa pikir-pikir. Aku tak membayangkan kakiku benar-benar dilumat dan dicokot. Tak membayangkan sepeda jatuh dan ia menubrukku. Tidak membayangkan di depan ada batu besar menjatuhkanku dan ia menatapku dengan mulut berliur. Sejauh mungkin memacu. Tidak boleh menengok ke belakang. Genjot terus. Sampai tidak terdengar suara menggonggong. Tak peduli sandal jatuh, tak peduli koran rusak. Tak peduli. Baru sesudah tidak ada suara lagi, aku berhenti. Mengambil nafas. Turun dari sepeda memandang ke arah  belakang. Tampak di kejauhan seonggok bayangan itu menatapku. Dasar as* batinku.
Aku lebih berkeringat dari biasanya.
Sesampainya di kos aku tiduran. Menanti teman yang akan datang dari Jombang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar