biar kata yang bicara

wellcom in jungle of mind

Rabu, 06 Oktober 2010

Pidato

“Bangun, bangun, bangun .…”
“Subuh, subuh, subuh, ….”
Hari masih gelap dan dingin, ketika suara-suara itu mengerubungi kuping. Kantuk seakan tidak mau pergi. Padahal telinga sudah mendengar. Kalau tidak ada kewajiban, pasti aku akan mbangkong sampai siang. Ya, ini hari Kamis saatnya latihan pidato.
Segera cepat-cepat aku bangun. Merapikan selimut lorek dan bantal dari tumpukan kain yang sudah usang. Teman-teman tidak ada. Sudah antri wudhu. Tinggal aku paling akhir. Di pondok, semua memang harus antri. Untuk apa saja. Dari urusan perut sampai urusan bawah perut. Makan, mandi, buang hajat, sholat, wudhu, olahraga, sorogan dan naik kelas.
Sampai jeding (sumur) antrinya sudah mulai berkurang. Tiap pagi santri dari berbagai asrama tumplek blek di sini. Mandi, wudhu, cuci, atau bahkan ada yang menggunakan untuk pindah tidur. Caranya? Duduk diam melipatkan kaki di tempat cucian dan menundukkan kepala seperti orang yang antri wudhu. Padahal tidur lagi.
Aku masih memikirkan materi pidatoku, ketika sholat subuh mulai. Sebenarnya sudah ada sedikit bayangan tentang apa yang nanti disampaikan. Cuma ya tidak runtut. Ah …. Nanti juga bisa. Soal benar tidak isi materi itu soal nanti.
Kegiatan kultum atau kulsub memang agenda rutin tiap Kamis pagi untuk setiap asrama santri. Karena asramanya ada yang saling bergandengan maka kadang kulsub asrama tetangga lebih keras terdengar dari kulsub di asrama sendiri.
Selesai sholat shubuh, ketua asrama sudah mengumumkan kegiatan besok Jum’at dan siapa yang pidato pagi ini. Setelah selesai, ketua menyilahkan aku untuk maju.
Aku berdiri dan menuju ke podium. Memandang satu-satu teman-teman dan berharap ini cepat berakhir.
Aku memulai pidato dengan memuji kepada Allah swt dan bersholawat kepada nabi Muhammad saw.
Dari tadi aku sudah mendengar suara temanku yang di asrama seberang sudah berkoar-koar dengan mantap dan khas mendengungkan pidato yang berapi-api. Aku tergugah. Aku pingin pidato hiroik. Sehiroik temanku yang di sana.
Aku tarik nafas panjang dan mengeluarkan nada tinggi.
“Sodara-sodara ….!!!”
Kontan banyak wajah mendongakkan kepala. Entah pingin melihat siapa yang bicara atau karena kaget mengganggu tidurnya yang pulas. Aku berhasil mencuri perhatian audiens. Tapi aku merasa dunia mulai berputar. Goyang ke kiri dan ke kanan. Seolah ada gemuruh dari dalam perutku. Gemuruh yang membuatku seakan melayang. Hilang pandangan.
“Sodara-sodara …..” Kali ini, yang mendengar cuma aku. Sebab ini seperti rintihan.
Tiba-tiba gelap. Aku roboh.
“Semaput, semaput ….” kata beberapa teman buru-buru menangkapku sebelum ambruk.
“Gotong ke kamar”
“Buatkan air teh hangat,” usul santri senior.
Aku merasakan badanku di bopong beberapa teman ke kamar.
Aku masih sempat mendengar suara temanku yang tetap hiroik dan malah berkobar-kobar pidatonya.  Aku pasrah.
Bau remashon langsung menusuk hidungku, begitu aku direbahkan di kamar. Semua badan diolesi remashon. Juga perutku. Rasanya seperti terbakar.
Aku beranikan diri untuk membuka mata.
“Hei, sudah sadar ya? Minum teh hangat dulu,”kata teman satu kamarku.
Aku minum satu dua tegukan. Pyar. Rasanya sudah sembuh pusing mualku.
“Kegiatannya sudah selesai, kang?” tanyaku.
“Ya langsung bubar, lha wong sing pidato semaput,” katanya sambil ketawa.
Aku bangun dari rebahan. Hawa sejuk menampar wajahku ketika kulongokkan ke jendela. Ada semburat warna kekuningan di sebelah timur. Pertanda kegiatan pagi akan dilanjutkan lagi. Baru setahun kemudian aku berani maju ke podium. Belajar pidato lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar