biar kata yang bicara

wellcom in jungle of mind

Selasa, 05 Oktober 2010

Operasi Mata

Hari hampir mendekati dzuhur. Panas sudah sampai pada ubun-ubun ketika aku keluar kantor. Jalanan kota sudah memulai kemacetannya. Jam pulang sekolah. Aku ke rumah sakit hendak memeriksakan mata. Ada rasa gatal dan perih akhir-akhir ini. Tidak ada sebabnya. Tahu-tahu ada benjolan daging yang masuk di mata. Kucoba hilangkan dengan kapas, tetap tidak hilang. Kuputuskan untuk periksa ke dokter mata.
Memasuki rumah sakit langsung di sambut dengan hawa sejuk air conditioner. Adem dan wangi.
“Permisi mbak, mau periksa mata,?” tanyaku kepada pelayanan umum.
“Punya kartu anggota?,”
“Belum.”
“Tolong isi formulir di sebelah sana. Nanti dikasih kan di sini ya.”
Ku ikuti semua petunjuk pelayanan umum. Setelah selesai  kuserahkan lagi padanya.
“Sudah mbak,” kataku sambil menyerahkan formulir.
“Oh ya, terima kasih, silakan tunggu sebentar,” katanya dengan sabar.
Ini adalah pengalaman pertamaku periksa kesehatan di rumah sakit swasta. Rumah sakit dengan pelayanan teratur dan rapi. Sebelum-sebelumnya lebih sering ke rumah sakit daerah. Bayar murah tapi harus menyiapkan kesabaran ekstra. Antri yang lama.
Ada yang memanggil namaku.
“Bapak, ini kartu anggota bapak dan silakan antri di ruang 11. Lorong sebelah barat ke selatan.”
Aku lihat-lihat sekeliling. Setelah memastikan paham, aku mengucapkan terima kasih dan berjalan menuju ruang dokter. Tidak sulit menemukan ruang 11. Sebab posisinya tepat di ujung lorong sebelah selatan.
Ada dua remaja putri yang sedang antri. Asyik bercerita-cerita. Aku menduga keduanya kuliah semester-semester awal. Beberapa saat sebelum keduanya periksa aku sempat ngobrol. Ternyata keduanya baru saja lulus SMA dan mau mendaftar di uns jurusan hukum dan fkip. Aku sempat memperhatikan, sepertinya tidak ada masalah dengan mata.
“Mau ganti kaca mata, mas”, katanya.
“Aku cuma nemenin, kok,” jelas satunya.
Setelah keduanya masuk, aku menunggu agak lama. Sempat aku tengak-tengok ke pintu yang terbuka sedikit. Aku tidak melihat siapa-siapa. Konsultasi kok nggak kelar-kelar.
Dan pintupun terbuka, kedua remaja tadi langsung ngloyor sambil terus cerita-cerita.
“Bapak, silakan masuk,” suster memanggil dan menyilakan masuk.
Ruangan praktek dokter itu bersih dan sejuk. Ada organ mata besar terbuat dari plastik tertata di meja. Dokternya masih muda dan enerjik. Sepertinya ia memraktikkan dengan betul cara membuka komunikasi dengan pasien dari buku-buku panduan kepribadian. Dan berhasil.
“Kenapa mas, ada yang bisa saya bantu?,”
Aku tahu sekarang sebabnya, kenapa kedua remaja putri tadi berlama-lama di ruang dokter. Wajahnya sumringah dan suaranya seperti Anang Hermansyah.
“Mata saya gatal dan seperti ada benjolan di dalamnya.”
“Coba diperiksa dulu, ya,” kata dokter.
Aku didudukkan  di sebuah alat pemeriksa mata. Serangkaian besi-besi dan beberapa teropong yang berhadapan. Namanya tonometer. Mungkin penemunya orang Jawa. Sartono, Martono atau Tono yang lain. (Tonometer digunakan untuk mengukur tekanan didalam bola mata kita. Tekanan ini dinilai untuk mengetahui nilai 'Intra-Ocular Pressure' (IOP) yg amat berkait erat  dengan penyakit glaucoma.)
 
“Maaf ya,” kata dokter sambil mempaskan wajahku di alat periksa. Menyetel alat kemudian menyorotkan pada mata kiriku lalu sebelah kanan.
“Suster tolong ambilkan cotton bath,” perintahnya pada suster.
“Baik, dok.”
Dokter kemudian membelalakkan mataku sebelah kiri dan mencoba menghilangkan daging kecil yang bercokol di belakang kelopak mata dengan cotton bath.
“Hemm… ya..ya..” kata dokter.
Sepertinya dokter sudah bisa memastikan penyakit apa yang ada di mataku. Aku dipersilakan duduk lagi ke ruang konsultasi.
“Iya, penyakit anda itu granuloma
“Apa itu dok?”
“Daging tumbuh yang akarnya terus merambat ke belakang kelopak mata.”
“Obatnya apa, dok?”
“Operasi.”
“Operasi?”
Aku diam. Tercenung. Operasi?
Dokter kelihatannya tahu kegelisahanku. Tidak hujan tidak angin kok tiba-tiba harus operasi.
“Iya. Tapi ini operasi kecil kok, tidak lama. Paling 15 menit selesai.”
Aku menimbang dalam diri. Berani tidak ya?
“Berapa biayanya dokter?” kuberanikan diri untuk bertanya.
“Ehm … kalau melihat penyakit saudara, saya kurang sreg operasi di klinik. Sebab  sepertinya kurang terang. Harus ke ruang operasi lantai atas. Coba dihitung dulu ya. Hemm … ya kira-kira lima ratus ribuan.”
Di sela-sela dokter menghitung aku bertanya.
“Operasinya sekarang dok?”
“Lha terserah. Sekarang bisa, besok juga boleh. Atau silakan keluar dulu, dipikir-pikir dulu.”
Aku duduk di ruang tunggu. Menunggu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar