biar kata yang bicara

wellcom in jungle of mind

Rabu, 06 Oktober 2010

Operasi Mata (Part 2)

Kupelototi hape dan mencari nama yang bisa mengatasi masalah ini.
Tut, tut, tut, suara nada tunggu.
“Hello,”
“Hai, mbak Kasir,”
“Ada apa mas,”
“Tolong pinjam uang  bisa nggak?”
“Berapa?”
“Tujuh ratus ribu?”
“Buat apa mas?”
“Buat operasi mata.”
“Sekarang?”
“Iya, kapan lagi. Dan tolong nanti diantar sekalian ke rumah sakit. Ya.”
Telpon kututup. Menunggu dipanggil lagi. Sebentar kemudian suster memanggil.
“Jadi setelah dihitung biayanya sekitar lima ratus ribu. Tinggal terserah masnya, mau kapan ?”
“Sekarang saya siap, dok,” jawabku mantap.
“Oke kalau begitu, tunggu sampai suster menyelesaikan administrasinya, ya,” kata dokter itu ramah.
Tak lama kemudian suster datang membawa berkas-berkas. Dokter menyuruhku menandatangi berkas-berkas itu.
“Ini adalah tanda persetujuan tentang alat-alat yang akan kita pakai nanti. Silakan tanda tangani saja,” terang dokter.
“Oke, terima kasih”
Dokter kemudian membereskan berkas itu. Sebelum akhirnya aku diajak ke lantai atas.
Aku mengekor saja. Tidak ada sebersit pun yang melintas dalam pikiranku tentang operasi. Cuma mau melihat langsung. Lorong rumah sakit juga masih ramai. Banyak orang lalu lalang. Entah keluarga si sakit atau hanya sekedar bezuk.
Akhirnya sampai juga di ruang operasi.
“Tunggu sebentar, ya, nanti di panggil” kata dokter.
Aku berhenti dan balik ke tempat duduk. Saying tempat duduk sudah penuh orang yang menunggu. Wajah mereka tipikal timur tengah. Hidung mancung, wajah bulat oval dan alis tebal. Encik barangkali.
Aku berdiri memandangi gedung-gedung samping lewat jendela yang terbuka. Mengambil hp. Menelpon.
“Dik, aku akan operasi,” kataku pada istriku.
Istriku tidak di rumah. Ia sedang pra jabatan untuk menjadi pegawai negeri di Semarang. Sudah hampir dua minggu.
“Operasi apa mas?,” katanya khawatir.
“Operasi mata”
“Operasi mata? Sudah menghubungi keluarga di rumah belum?”
“Belum,” kataku singkat.
Istriku semakin menjadi-jadi khawatirnya. Dia bilang mbok kalau operasi bilang ke keluarga dulu. Biar nanti ada yang jaga. Atau menghubungi adikku. Kalau nanti terjadi apa bagaimana. Aku katakan padanya ini operasi kecil. Kata dokter cuma sebentar tidak lama. Kemudian ada yang memanggil namaku.
“Sudah, ya. Aku dipanggil ke ruang operasi. Doakan cepat selesai dan sembuh” kataku.
“Iya, iya kudoakan.” Jawabnya.
Aku bergegas memasuki ruang operasi. Ruangan itu sepi dan dingin. Aku tidak melihat alat-alat untuk operasi, karena ruang-ruang itu disekat dengan kaca tebal. Kaca tebal sebagai tembok itu tengahnya diberi penghalang untuk melihat ke dalam. Semacam glossy untuk mengaburkan pandangan.
Petugas medis berpakaian ninja menyambutku. Muka dan seluruh badannya tertutup kecuali matanya.
“Silakan lepas bajunya dan ganti baju operasi,” katanya sambil menunjukkan ruangan ganti.
“Mohon barang berharga ditinggal diluar saja atau dititipkan keluarga,”
“Saya sendirian” kataku.
“Tinggalkan disini juga tidak apa-apa.”
Aku berganti baju operasi. Baju operasi terdiri dari baju dan celana komprang. Bajunya berkancing di belakang. Agak susah memakainya tapi bisa. Tut, tut, tut … hapeku berbunyi.
“Halo…”
“Katanya operasi mas?” adikku menelpon.
“Ini baru di ruang operasi, sebentar lagi.”
“Lha,ditunggu nggak?”
“Nggak usah.” Kataku singkat.
Setelah selesai, petugas medis datang dan menyuruhku rebahan di ranjang beroda.
“Tunggu sebentar, ya.”
Petugas itu pergi lagi. Kali ini aku benar-benar kedinginan. Entah berapa suhu udara dalam ruang operasi. Apalagi aku hanya pakai baju operasi yang longgar dan tipis. Aku tidak berpikir sedikitpun tentang operasi. Aku butuh selimut.
Sebentar kemudian, ranjang didorong menuju ruangan. Wajah menghadap ke atas. Lampu-lampu neon berkejaran. Lorong yang sunyi. Suara roda berderek. Suhu udara tetap tidak berubah. Aku kedinginan.
Sampai di ruangan operasi, aku lihat lampu besar bundar. Ranjangku tepat di bawahnya.
“Oke, semua sudah siap.” Kata seseorang. Mungkin dokter. Aku tidak mengenalinya karena semua pakai tutup muka. Persis ninja. Ada lelucon. Kenapa setiap dokter atau medis melakukan operasi selalu pakai masker? Karena jika ada kesalahan dan menyebabkan kematian, maka pasien akan bingung tidak tahu siapa yang membunuhnya.
Dokter menanyakan alat-alat kelengkapan operasi. Aku tidak paham itu. Setelah lampu bundar dan besar di arahkan ke wajahku.
Dokter memulai pekerjaannya. Mula-mula menutupi mata dengan kain yang berlubang. Kemudian menetaskan cairan kedalam mataku. Katanya itu bius lokal untuk mata. Aku tidak melihat apa-apa selain cahaya terang yang menyorotku. Aku disuruh melihat ke bawah. Kurasakan dokter menyuntikkan sesuatu di atas bola mataku. Sedikit terasa ada benda menyentuh kelompak mataku. Dingin. Sepertinya pisau bedah merobek kulit. Lalu aku terus mendengar saja apa yang dikatakan dokter. Bahwa ada daging yang kayak buah jerawat tapi punya akar. Akar itu sudah menyebar. Tapi ujungnya belum begitu dalam. Jika tidak dibuang akan mengakar ke dalam dan akan semakin sulit  mengangkatnya. Dan setelah berhasil di angkat lalu daging yang disobek tadi dilem. Kemudian mataku ditutup kapas dan diplester.
“Selesai,” kata dokter menyudahi operasinya.
Aku tetap terlentang di ranjang. Sebentar kemudian aku didorong keluar dan masuk ke ruang isolasi. Ini ruang untuk transit sebelum masuk ke ruang rawat. Di sampingku ada pasien perempuan. Perutnya buncit dan wajahnya bengong. Tidak tahu operasi apa. Hawa dingin masih saja menyelimuti ruangan. Aku cari-cari selimut. Ternyata di pojok ranjang ada lipatan kain. Selimut. Aku menutupi tubuhku dengan selimut. Kali ini sudah berkurang dinginnya.
Sudah hampir dua jam di rumah sakit. Setibanya temanku membawa uang, aku segera melunasi ke kasir. Obatnya aku beli separo. Jika dibeli semuanya biayanya hampir tujuh ratus ribu. Aku kembali ke kantor dengan mata satu tertutup. Semua bertanya dengan pertanyaan sama. Operasi apa?
“Operasi mata,” jawabku singkat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar