biar kata yang bicara

wellcom in jungle of mind

Jumat, 15 Oktober 2010

Loper

Azan subuh sudah berkumandang. Terbangun dari tidur malam yang nyenyak, aku bangkit. Ambil air wudhu. Kos-kosan masih sepi dan remang. Teman kos belum ada yang bangun. Biasanya mereka bangun siang-siang. Karena jadwal kuliah mereka yang tidak sama. Kebanyakan masuk siang. Setelah sholat subuh, aku menuju tempat sepeda. Melewati para blandong (sebutan ibu kos kepada kuli batu harian yang numpang tidur di emperan berselimutkan sarung. Kebanyakan dari Wonosari Gunungkidul) pelan-pelan. Mengeluarkan sepeda dan menuntun sampai pintu gerbang. Segera aku meluncur ke percetakan koran kaer di jalan Mangkubumi. Dengan sepeda, kurang lebih lima belas menit sudah sampai.
Ini adalah hari terakhirku loper koran. Menggantikan teman yang sudah punya pelanggan sekitar duapuluhan orang yang tersebar di daerah pinggiran kota Jogja. Namanya Masrum. Dia pingin mudik ke Jombang.
Di dekat kos-kosan memang ada agen koran yang lumayan besar. Pelangganya kurang lebih seratusan. Anak kos-kosanku semua ditawari jadi loper, termasuk aku. Pada awalnya aku ogah-ogahan menerima tawaran mencari pelanggan. Karena aku tidak hapal peta Jogja. Tidak masalah katanya. Siapa tahu kamu bisa sukses jadi agen bernas. Koran bernas adalah koran baru pada saat itu. Ada sepuluh examplar yang harus aku sebarkan tiap pagi selama satu minggu. Hasilnya satu pelanggan nyantol kepadaku. Aku serahkan kepada agen itu. Aku tak berani melanjutkan. Dan Masrum adalah anak didiknya yang berhasil. Setidaknya punya pelanggan sendiri.
“Gimana, mau nggak ganti aku satu bulan?” katanya suatu saat.
“Mau sih, cuma pelangganmu yang mana aja?”
“Gampang, besok bangun pagi dan ikut aku,” lanjutnya.
Paginya, aku dibangunkan. Aku tidak biasa bangun pagi sebelumnya. Karena mau apa bangun pagi kalau tidak ada yang dikerjakan. Dan mulai hari itu harus membiasakan bangun pagi kalau tidak mau dimarahi pelanggan. Masih gelap benar ketika ia memboncengkan aku di sepeda federalnya. Cara yang termudah untuk memberi tahu pelanggan, ya harus diajak loper. Sesampainya di kaer sudah banyak agen yang datang. Menghitung dan mengepak koran. Kopi panas satu ceret juga sudah siap. Beberapa orang malah duduk-duduk dulu. Ngopi dan merokok. Ada teknik tersendiri agar tatanan koran tidak lecek di tengah jalan. Agar sampai di pelanggan tetap rapi. Lipatan koran harus tetap di bawah ketika koran ditumpuk. Seterusnya demikian hingga sekitar dua puluhan koran. Karena jika terlalu banyak tidak muat dimasukkan tas. Sehingga nanti, jika melemparkan koran tinggal pegang lipatan paling atas dan lempar. Ini pelajaran pertama dari Masrum.
“Piye? Iso to?,” tanyanya padaku.
Wis, isolah …” kataku sekenanya.
Dalam prakteknya memang tidak semulus teori. Pernah suatu ketika aku harus menyembunyikan robekan kecil dalam lipatan. Karena kurang hati-hati dalam menata koran, pas ditarik dari tas …wek…. Sobek.
Mulailah perjalanan pagi itu. Hawa sejuk langsung menerpa wajahku begitu keluar dari kantor kaer. Pagi di Jogja yang belum pernah aku rasakan.  Pertama karena aku jarang atau malah belum pernah bangun sepagi ini. Kedua karena aku belum genap satu semester di Jogja. Masrum menjelaskan jalan dan rumah-rumah pelanggannya satu per satu. Aku harus menghafal jalan, nomor rumah, belokan dan tanjakan dan tentu anjing galak.
Ini adalah akhir perjuanganku. Sebab hasil dari loperku selama satu bulan seratus persen untukku. Tidak dibagi dengan Masrum. Dalam satu bulan menggantikan itu, aku benar-benar merasa beruntung. Bisa menikmati pagi, menghirup udara bersih. Bisa merasakan badan sehat berkeringat, sebelum teman-teman yang lain bangun tidur. Merasakan nikmatnya kopi panas dan sebatang rokok di dingin pagi yang gelap. Bercengkrama dengan sesama tukang loper. Membaca berita utama lebih awal. Dan yang jelas merubah kegiatan pagi dari cuma tidur menjadi sesuatu yang bermanfaat. Dapat uang lagi.
Dan pagi ini aku begitu nggrantes. Setiap lemparan koran ke rumah pelanggan, aku membatin mengucapkan selamat berpisah. Cepat atau lambat perpisahan akan segera terjadi karena yang punya besok sudah datang. Dan tentu ia yang akan mengerjakan pekerjaan mulia ini.
Koran di tas sudah mulai habis. Tinggal beberapa rumah saja yang tersisa. Karena ingin segera merampungkan pekerjaan, sengaja aku melewati jalan pintas. Tidak membelok. Dan tahulah, apa yang terjadi jika memang nekat melanggar larangan. Di depan ada seonggok bayangan hitam. Tidak jelas itu orang jongkok atau apa, karena matahari masih belum terbit. Aku kayuh sepeda pelan-pelan. Untuk memastikan benda apa sebenarnya. Aku pandangi dengan sungguh-sungguh. Dan ….
“Guk ….guk …..guk ….”
Antara spontan dan kaget, aku pacu sepedaku sekuat tenaga. Ada angin hangat yang menerpa kaki. Mulutnya persis di samping pedal sepeda. Gonggongannya tidak pernah berhenti. Terus-menerus menyalak. Memecahkan kesunyian pagi. Memekakkan telinga. Mengagetkan.
Asss*******!!!!!!!!!!!!!
Aku melarikan sepedaku sekencangnya. Tanpa pikir-pikir. Aku tak membayangkan kakiku benar-benar dilumat dan dicokot. Tak membayangkan sepeda jatuh dan ia menubrukku. Tidak membayangkan di depan ada batu besar menjatuhkanku dan ia menatapku dengan mulut berliur. Sejauh mungkin memacu. Tidak boleh menengok ke belakang. Genjot terus. Sampai tidak terdengar suara menggonggong. Tak peduli sandal jatuh, tak peduli koran rusak. Tak peduli. Baru sesudah tidak ada suara lagi, aku berhenti. Mengambil nafas. Turun dari sepeda memandang ke arah  belakang. Tampak di kejauhan seonggok bayangan itu menatapku. Dasar as* batinku.
Aku lebih berkeringat dari biasanya.
Sesampainya di kos aku tiduran. Menanti teman yang akan datang dari Jombang.

Rabu, 06 Oktober 2010

Pidato

“Bangun, bangun, bangun .…”
“Subuh, subuh, subuh, ….”
Hari masih gelap dan dingin, ketika suara-suara itu mengerubungi kuping. Kantuk seakan tidak mau pergi. Padahal telinga sudah mendengar. Kalau tidak ada kewajiban, pasti aku akan mbangkong sampai siang. Ya, ini hari Kamis saatnya latihan pidato.
Segera cepat-cepat aku bangun. Merapikan selimut lorek dan bantal dari tumpukan kain yang sudah usang. Teman-teman tidak ada. Sudah antri wudhu. Tinggal aku paling akhir. Di pondok, semua memang harus antri. Untuk apa saja. Dari urusan perut sampai urusan bawah perut. Makan, mandi, buang hajat, sholat, wudhu, olahraga, sorogan dan naik kelas.
Sampai jeding (sumur) antrinya sudah mulai berkurang. Tiap pagi santri dari berbagai asrama tumplek blek di sini. Mandi, wudhu, cuci, atau bahkan ada yang menggunakan untuk pindah tidur. Caranya? Duduk diam melipatkan kaki di tempat cucian dan menundukkan kepala seperti orang yang antri wudhu. Padahal tidur lagi.
Aku masih memikirkan materi pidatoku, ketika sholat subuh mulai. Sebenarnya sudah ada sedikit bayangan tentang apa yang nanti disampaikan. Cuma ya tidak runtut. Ah …. Nanti juga bisa. Soal benar tidak isi materi itu soal nanti.
Kegiatan kultum atau kulsub memang agenda rutin tiap Kamis pagi untuk setiap asrama santri. Karena asramanya ada yang saling bergandengan maka kadang kulsub asrama tetangga lebih keras terdengar dari kulsub di asrama sendiri.
Selesai sholat shubuh, ketua asrama sudah mengumumkan kegiatan besok Jum’at dan siapa yang pidato pagi ini. Setelah selesai, ketua menyilahkan aku untuk maju.
Aku berdiri dan menuju ke podium. Memandang satu-satu teman-teman dan berharap ini cepat berakhir.
Aku memulai pidato dengan memuji kepada Allah swt dan bersholawat kepada nabi Muhammad saw.
Dari tadi aku sudah mendengar suara temanku yang di asrama seberang sudah berkoar-koar dengan mantap dan khas mendengungkan pidato yang berapi-api. Aku tergugah. Aku pingin pidato hiroik. Sehiroik temanku yang di sana.
Aku tarik nafas panjang dan mengeluarkan nada tinggi.
“Sodara-sodara ….!!!”
Kontan banyak wajah mendongakkan kepala. Entah pingin melihat siapa yang bicara atau karena kaget mengganggu tidurnya yang pulas. Aku berhasil mencuri perhatian audiens. Tapi aku merasa dunia mulai berputar. Goyang ke kiri dan ke kanan. Seolah ada gemuruh dari dalam perutku. Gemuruh yang membuatku seakan melayang. Hilang pandangan.
“Sodara-sodara …..” Kali ini, yang mendengar cuma aku. Sebab ini seperti rintihan.
Tiba-tiba gelap. Aku roboh.
“Semaput, semaput ….” kata beberapa teman buru-buru menangkapku sebelum ambruk.
“Gotong ke kamar”
“Buatkan air teh hangat,” usul santri senior.
Aku merasakan badanku di bopong beberapa teman ke kamar.
Aku masih sempat mendengar suara temanku yang tetap hiroik dan malah berkobar-kobar pidatonya.  Aku pasrah.
Bau remashon langsung menusuk hidungku, begitu aku direbahkan di kamar. Semua badan diolesi remashon. Juga perutku. Rasanya seperti terbakar.
Aku beranikan diri untuk membuka mata.
“Hei, sudah sadar ya? Minum teh hangat dulu,”kata teman satu kamarku.
Aku minum satu dua tegukan. Pyar. Rasanya sudah sembuh pusing mualku.
“Kegiatannya sudah selesai, kang?” tanyaku.
“Ya langsung bubar, lha wong sing pidato semaput,” katanya sambil ketawa.
Aku bangun dari rebahan. Hawa sejuk menampar wajahku ketika kulongokkan ke jendela. Ada semburat warna kekuningan di sebelah timur. Pertanda kegiatan pagi akan dilanjutkan lagi. Baru setahun kemudian aku berani maju ke podium. Belajar pidato lagi.

Operasi Mata (Part 2)

Kupelototi hape dan mencari nama yang bisa mengatasi masalah ini.
Tut, tut, tut, suara nada tunggu.
“Hello,”
“Hai, mbak Kasir,”
“Ada apa mas,”
“Tolong pinjam uang  bisa nggak?”
“Berapa?”
“Tujuh ratus ribu?”
“Buat apa mas?”
“Buat operasi mata.”
“Sekarang?”
“Iya, kapan lagi. Dan tolong nanti diantar sekalian ke rumah sakit. Ya.”
Telpon kututup. Menunggu dipanggil lagi. Sebentar kemudian suster memanggil.
“Jadi setelah dihitung biayanya sekitar lima ratus ribu. Tinggal terserah masnya, mau kapan ?”
“Sekarang saya siap, dok,” jawabku mantap.
“Oke kalau begitu, tunggu sampai suster menyelesaikan administrasinya, ya,” kata dokter itu ramah.
Tak lama kemudian suster datang membawa berkas-berkas. Dokter menyuruhku menandatangi berkas-berkas itu.
“Ini adalah tanda persetujuan tentang alat-alat yang akan kita pakai nanti. Silakan tanda tangani saja,” terang dokter.
“Oke, terima kasih”
Dokter kemudian membereskan berkas itu. Sebelum akhirnya aku diajak ke lantai atas.
Aku mengekor saja. Tidak ada sebersit pun yang melintas dalam pikiranku tentang operasi. Cuma mau melihat langsung. Lorong rumah sakit juga masih ramai. Banyak orang lalu lalang. Entah keluarga si sakit atau hanya sekedar bezuk.
Akhirnya sampai juga di ruang operasi.
“Tunggu sebentar, ya, nanti di panggil” kata dokter.
Aku berhenti dan balik ke tempat duduk. Saying tempat duduk sudah penuh orang yang menunggu. Wajah mereka tipikal timur tengah. Hidung mancung, wajah bulat oval dan alis tebal. Encik barangkali.
Aku berdiri memandangi gedung-gedung samping lewat jendela yang terbuka. Mengambil hp. Menelpon.
“Dik, aku akan operasi,” kataku pada istriku.
Istriku tidak di rumah. Ia sedang pra jabatan untuk menjadi pegawai negeri di Semarang. Sudah hampir dua minggu.
“Operasi apa mas?,” katanya khawatir.
“Operasi mata”
“Operasi mata? Sudah menghubungi keluarga di rumah belum?”
“Belum,” kataku singkat.
Istriku semakin menjadi-jadi khawatirnya. Dia bilang mbok kalau operasi bilang ke keluarga dulu. Biar nanti ada yang jaga. Atau menghubungi adikku. Kalau nanti terjadi apa bagaimana. Aku katakan padanya ini operasi kecil. Kata dokter cuma sebentar tidak lama. Kemudian ada yang memanggil namaku.
“Sudah, ya. Aku dipanggil ke ruang operasi. Doakan cepat selesai dan sembuh” kataku.
“Iya, iya kudoakan.” Jawabnya.
Aku bergegas memasuki ruang operasi. Ruangan itu sepi dan dingin. Aku tidak melihat alat-alat untuk operasi, karena ruang-ruang itu disekat dengan kaca tebal. Kaca tebal sebagai tembok itu tengahnya diberi penghalang untuk melihat ke dalam. Semacam glossy untuk mengaburkan pandangan.
Petugas medis berpakaian ninja menyambutku. Muka dan seluruh badannya tertutup kecuali matanya.
“Silakan lepas bajunya dan ganti baju operasi,” katanya sambil menunjukkan ruangan ganti.
“Mohon barang berharga ditinggal diluar saja atau dititipkan keluarga,”
“Saya sendirian” kataku.
“Tinggalkan disini juga tidak apa-apa.”
Aku berganti baju operasi. Baju operasi terdiri dari baju dan celana komprang. Bajunya berkancing di belakang. Agak susah memakainya tapi bisa. Tut, tut, tut … hapeku berbunyi.
“Halo…”
“Katanya operasi mas?” adikku menelpon.
“Ini baru di ruang operasi, sebentar lagi.”
“Lha,ditunggu nggak?”
“Nggak usah.” Kataku singkat.
Setelah selesai, petugas medis datang dan menyuruhku rebahan di ranjang beroda.
“Tunggu sebentar, ya.”
Petugas itu pergi lagi. Kali ini aku benar-benar kedinginan. Entah berapa suhu udara dalam ruang operasi. Apalagi aku hanya pakai baju operasi yang longgar dan tipis. Aku tidak berpikir sedikitpun tentang operasi. Aku butuh selimut.
Sebentar kemudian, ranjang didorong menuju ruangan. Wajah menghadap ke atas. Lampu-lampu neon berkejaran. Lorong yang sunyi. Suara roda berderek. Suhu udara tetap tidak berubah. Aku kedinginan.
Sampai di ruangan operasi, aku lihat lampu besar bundar. Ranjangku tepat di bawahnya.
“Oke, semua sudah siap.” Kata seseorang. Mungkin dokter. Aku tidak mengenalinya karena semua pakai tutup muka. Persis ninja. Ada lelucon. Kenapa setiap dokter atau medis melakukan operasi selalu pakai masker? Karena jika ada kesalahan dan menyebabkan kematian, maka pasien akan bingung tidak tahu siapa yang membunuhnya.
Dokter menanyakan alat-alat kelengkapan operasi. Aku tidak paham itu. Setelah lampu bundar dan besar di arahkan ke wajahku.
Dokter memulai pekerjaannya. Mula-mula menutupi mata dengan kain yang berlubang. Kemudian menetaskan cairan kedalam mataku. Katanya itu bius lokal untuk mata. Aku tidak melihat apa-apa selain cahaya terang yang menyorotku. Aku disuruh melihat ke bawah. Kurasakan dokter menyuntikkan sesuatu di atas bola mataku. Sedikit terasa ada benda menyentuh kelompak mataku. Dingin. Sepertinya pisau bedah merobek kulit. Lalu aku terus mendengar saja apa yang dikatakan dokter. Bahwa ada daging yang kayak buah jerawat tapi punya akar. Akar itu sudah menyebar. Tapi ujungnya belum begitu dalam. Jika tidak dibuang akan mengakar ke dalam dan akan semakin sulit  mengangkatnya. Dan setelah berhasil di angkat lalu daging yang disobek tadi dilem. Kemudian mataku ditutup kapas dan diplester.
“Selesai,” kata dokter menyudahi operasinya.
Aku tetap terlentang di ranjang. Sebentar kemudian aku didorong keluar dan masuk ke ruang isolasi. Ini ruang untuk transit sebelum masuk ke ruang rawat. Di sampingku ada pasien perempuan. Perutnya buncit dan wajahnya bengong. Tidak tahu operasi apa. Hawa dingin masih saja menyelimuti ruangan. Aku cari-cari selimut. Ternyata di pojok ranjang ada lipatan kain. Selimut. Aku menutupi tubuhku dengan selimut. Kali ini sudah berkurang dinginnya.
Sudah hampir dua jam di rumah sakit. Setibanya temanku membawa uang, aku segera melunasi ke kasir. Obatnya aku beli separo. Jika dibeli semuanya biayanya hampir tujuh ratus ribu. Aku kembali ke kantor dengan mata satu tertutup. Semua bertanya dengan pertanyaan sama. Operasi apa?
“Operasi mata,” jawabku singkat.

Selasa, 05 Oktober 2010

Operasi Mata

Hari hampir mendekati dzuhur. Panas sudah sampai pada ubun-ubun ketika aku keluar kantor. Jalanan kota sudah memulai kemacetannya. Jam pulang sekolah. Aku ke rumah sakit hendak memeriksakan mata. Ada rasa gatal dan perih akhir-akhir ini. Tidak ada sebabnya. Tahu-tahu ada benjolan daging yang masuk di mata. Kucoba hilangkan dengan kapas, tetap tidak hilang. Kuputuskan untuk periksa ke dokter mata.
Memasuki rumah sakit langsung di sambut dengan hawa sejuk air conditioner. Adem dan wangi.
“Permisi mbak, mau periksa mata,?” tanyaku kepada pelayanan umum.
“Punya kartu anggota?,”
“Belum.”
“Tolong isi formulir di sebelah sana. Nanti dikasih kan di sini ya.”
Ku ikuti semua petunjuk pelayanan umum. Setelah selesai  kuserahkan lagi padanya.
“Sudah mbak,” kataku sambil menyerahkan formulir.
“Oh ya, terima kasih, silakan tunggu sebentar,” katanya dengan sabar.
Ini adalah pengalaman pertamaku periksa kesehatan di rumah sakit swasta. Rumah sakit dengan pelayanan teratur dan rapi. Sebelum-sebelumnya lebih sering ke rumah sakit daerah. Bayar murah tapi harus menyiapkan kesabaran ekstra. Antri yang lama.
Ada yang memanggil namaku.
“Bapak, ini kartu anggota bapak dan silakan antri di ruang 11. Lorong sebelah barat ke selatan.”
Aku lihat-lihat sekeliling. Setelah memastikan paham, aku mengucapkan terima kasih dan berjalan menuju ruang dokter. Tidak sulit menemukan ruang 11. Sebab posisinya tepat di ujung lorong sebelah selatan.
Ada dua remaja putri yang sedang antri. Asyik bercerita-cerita. Aku menduga keduanya kuliah semester-semester awal. Beberapa saat sebelum keduanya periksa aku sempat ngobrol. Ternyata keduanya baru saja lulus SMA dan mau mendaftar di uns jurusan hukum dan fkip. Aku sempat memperhatikan, sepertinya tidak ada masalah dengan mata.
“Mau ganti kaca mata, mas”, katanya.
“Aku cuma nemenin, kok,” jelas satunya.
Setelah keduanya masuk, aku menunggu agak lama. Sempat aku tengak-tengok ke pintu yang terbuka sedikit. Aku tidak melihat siapa-siapa. Konsultasi kok nggak kelar-kelar.
Dan pintupun terbuka, kedua remaja tadi langsung ngloyor sambil terus cerita-cerita.
“Bapak, silakan masuk,” suster memanggil dan menyilakan masuk.
Ruangan praktek dokter itu bersih dan sejuk. Ada organ mata besar terbuat dari plastik tertata di meja. Dokternya masih muda dan enerjik. Sepertinya ia memraktikkan dengan betul cara membuka komunikasi dengan pasien dari buku-buku panduan kepribadian. Dan berhasil.
“Kenapa mas, ada yang bisa saya bantu?,”
Aku tahu sekarang sebabnya, kenapa kedua remaja putri tadi berlama-lama di ruang dokter. Wajahnya sumringah dan suaranya seperti Anang Hermansyah.
“Mata saya gatal dan seperti ada benjolan di dalamnya.”
“Coba diperiksa dulu, ya,” kata dokter.
Aku didudukkan  di sebuah alat pemeriksa mata. Serangkaian besi-besi dan beberapa teropong yang berhadapan. Namanya tonometer. Mungkin penemunya orang Jawa. Sartono, Martono atau Tono yang lain. (Tonometer digunakan untuk mengukur tekanan didalam bola mata kita. Tekanan ini dinilai untuk mengetahui nilai 'Intra-Ocular Pressure' (IOP) yg amat berkait erat  dengan penyakit glaucoma.)
 
“Maaf ya,” kata dokter sambil mempaskan wajahku di alat periksa. Menyetel alat kemudian menyorotkan pada mata kiriku lalu sebelah kanan.
“Suster tolong ambilkan cotton bath,” perintahnya pada suster.
“Baik, dok.”
Dokter kemudian membelalakkan mataku sebelah kiri dan mencoba menghilangkan daging kecil yang bercokol di belakang kelopak mata dengan cotton bath.
“Hemm… ya..ya..” kata dokter.
Sepertinya dokter sudah bisa memastikan penyakit apa yang ada di mataku. Aku dipersilakan duduk lagi ke ruang konsultasi.
“Iya, penyakit anda itu granuloma
“Apa itu dok?”
“Daging tumbuh yang akarnya terus merambat ke belakang kelopak mata.”
“Obatnya apa, dok?”
“Operasi.”
“Operasi?”
Aku diam. Tercenung. Operasi?
Dokter kelihatannya tahu kegelisahanku. Tidak hujan tidak angin kok tiba-tiba harus operasi.
“Iya. Tapi ini operasi kecil kok, tidak lama. Paling 15 menit selesai.”
Aku menimbang dalam diri. Berani tidak ya?
“Berapa biayanya dokter?” kuberanikan diri untuk bertanya.
“Ehm … kalau melihat penyakit saudara, saya kurang sreg operasi di klinik. Sebab  sepertinya kurang terang. Harus ke ruang operasi lantai atas. Coba dihitung dulu ya. Hemm … ya kira-kira lima ratus ribuan.”
Di sela-sela dokter menghitung aku bertanya.
“Operasinya sekarang dok?”
“Lha terserah. Sekarang bisa, besok juga boleh. Atau silakan keluar dulu, dipikir-pikir dulu.”
Aku duduk di ruang tunggu. Menunggu.

Sabtu, 02 Oktober 2010

Aku dan Slamet Riyadi


Slamet Riyadi
Siapa yang tak kenal jalan Slamet Riyadi? Nama jalan utama kota Solo itu diabadikan untuk mengenang perjuangan Pahlawan Nasional Slamet Riyadi. Ada dua patung Slamet Riyadi yang berdiri di jalan itu. Pertama di Rumah Sakit Tentara dan satunya di Gladak. Hubungan aku dan Slamet Riyadi apa? Kujawab saja tidak ada hubungan apa-apa antara aku dan Slamet Riyadi.
Cuma, seorang teman iseng melihat patung Slamet Riyadi yang di RS Tentara itu. Begitu bertemu denganku langsung saja ia bilang “Mirip kan……”
Aku bingung.
“Mirip apa?”
“Mirip siapa?”
“Kamu tuh, mirip patung Slamet Riyadi.” Jawabnya dengan terkekeh-kekeh.
“Weladalah, masak sih?” kataku.
Aku tidak memperdulikan sebenarnya. Atau lebih tepatnya memikirkan secara serius. Cuma ya itu tadi. Dia bilang ke teman-teman dan menyuruh untuk membuktikan omongannya.
“Iya mas, kamu mirip patung Slamet Riyadi.”
“Persis tenan, mas.” kata temannya yang lain.
Aku penasaran. Hanya satu untuk membuktikannya. Datang dan melihat patung itu. Sebelum itu, aku cerita dulu kepada keluargaku. Aku cerita, temanku menemukan patungku di RS Tentara Solo. Patung Slamet Riyadi. Ha…ha … semua ketawa, begitu melihat patung di RS itu.
“Iya benar mas, memang mirip”
“Persis”
Tidak saja patung itu. Aku search di internet. Mencari poto Slamet Riyadi. Hasilnya sama. Persis katanya. Yah, mau bagaimana lagi. Kalau memang mirip ya sudahlah. Syukur bisa meneladani kepahlawanannya.

Jumat, 01 Oktober 2010

Lebaran

Ini mungkin cerita ketika aku bocah berumur 12 tahun dan mondok di pesantren. Di pondok ada tradisi Naun yaitu tidak pulang ke kampung halaman selama tiga lebaran berturut-turut atau 3 setengah tahun. Naun itu bukti khidmat santri pada pondoknya. Bagi santri hukumnya cuma sunah, mau  Naun silakan dan pulang kampung pun mangga kersa. Tahun pertama aku Naun , aku terhipnotis suasana Ramadhan yang rame. Banyak pengajian dan santri posonan yang datang. Lebih seperti perayaan pengajian, sebab di mana-mana ketemu orang yang mau mengaji. Dari pagi sampai malam pukul 12 pas. Pengajian terakhir jam setengah 12 sampai jam 12 diisi langsung oleh Pak Kiai. Setelah lonceng ke-12 dari bel di pinggir kantor, lampu padam. Saat itulah saat bagi santri untuk istirahat. Tapi lagi-lagi mata rasanya tidak mau tidur. Sebab malam menawar pemandangan yang luar biasa. Dalam langskap hitam dan langit biru ditaburi warna-warna putih bintang yang menghiasai angkasa. Inikah pesantrenku? Mengharu biru dalam kegelapan malam. Belum jeda juga rasa takjub, sayup-sayup sudah terdengar serombongan pemuda kampung membunyikan kentongan dalam irama yang teratur. Merdu sahdu. Membangunkan sahur.
Ramadhan terus berjalan, satu persatu santri mulai mengemasi barang-barang untuk kemudian pulang kampung. Tanggal 17 puasa, setelah peringatan Nuzulul Qur’an, keadaan pondok mulai sepi. Hari-hari selanjutnya sudah pasti akan semakin sepi. Sampai tinggal beberapa santri yang naun. Jumlah tinggal puluhan dari ratusan santri yang mondok. Dan lebaran datang dengan menawarkan keceriaan sendiri. Ada satu warung yang menyediakan sarapan gratis setiap lebaran tiba. Menunya opor ayam dengan kuah yang melimpah. Itu aku dengar dari santri-santri senior yang lebih dulu naun. Jika tidak datang lebih awal dipastikan akan kehabisan menu spesial lebaran. Dan aku di tahun pertama naunku, memang kurang beruntung. Aku tidur kelewat malam dan bangun terlalu siang. Aku datang ketika sudah tidak ada seorang pun.
”Habis mas,” demikian kata yang punya warung. Waduh, menu spesial lebaran melayang sudah. Dan, memang lebaran penuh arti. Artinya mudah-mudahan lebaran tahun depan aku mendapatkan sarapan gratis dengan menu spesial opor ayam dan kuah yang melimpah. Tahun berikutnya akhirnya aku mendapatkan menu spesial itu. Bahkan tahun ke tiga aku dapat tambahan sebutir telur matang. Bonus katanya.
Pada pagi lebaran setelah sholat Id, semua bubar ke rumah masing-masing. Karena untuk hari raya Idul Fitri jamaah masjid sekitar pondok sholatnya di masjid pondok. Tapi sebelum bubaran biasanya Pak Kiai menggelar halal bi halal dengan masyarakat sekitar. Spontan saja. Semua berkumpul di pendapa pondok. Kiai mengikrarkan halal bihalal dan ditutup dengan do’a.
Aku ke kamar asrama. Duduk sebentar dan bertanya-tanya mau ke mana ini? 
Keluar ke teras asrama terus ambil sandal berlari ke arah serombongan santri. Katanya mau keliling kampung untuk silaturrahmi. Seharian dari rumah satu ke rumah yang lain berkunjung, salaman, makan hidangan lebaran. Tahu nggak, tidak ada satu dari kita yang tahu nama pemilik dari rumah-rumah yang dikunjungi itu. Tak satu pun. Yang penting mubeng, keliling kampung. Tahunya orang kampung, kita ini santri pondok. Wajib diterima dan dihormati, apa pun keadaannya. (ketok’e mono tahun 1986-an wajahku sik mesakne banget, kudu disantuni. He .. he …)
Demikianlah, lebaran selanjutnya sepertinya sama yang terdahulu. Cuma ketika lebaran di tahun ke tiga, aku mulai mencari kesibukan baru. Setelah keliling kampung mosok terus di asrama. Bagaimana kalau pergi ke kota?
Benar, tekad sudah bulat, aku harus berangkat. Ke kota Pacitan. Hari masih pagi ketika aku meninggalkan asrama. Bus jurusan Pacitan-Ponorogo pada hari-hari biasa ada setiap jam. Tapi ini memang sungguh luar biasa. Aku duduk menunggu sampai berjam-jam.
Ini busnya pada ke mana sih?
Setelah hampir dhuhur baru keliatan kelap-kelip kacanya terkena sinar matahari di kejauhan. Syukurlah akhirnya aku dapat pergi ke kota Pacitan. Setengah jam kemudian aku sampai di tengah kota. Jlek, aku turun dari bus. Tahu nggak apa yang kudapati di kota Pacitan? Sebuah pemandangan yang mencengangkan. Kalau kamu pernah nonton film horor, sebuah kota yang ditinggal penduduknya karena ada vampire atau monster. Benar. Sepinya masyaallah …. Apa yang kuharapkan di kota dapat mengusir kesendirian ternyata malah lebih sepi dari pada di pondok.
Lagi-lagi aku bersyukur, karena bus yang membawaku ke kota Pacitan akhirnya juga balik pada sore harinya. Jika tidak, tentu aku harus mencari tempat bermalam dan pulang pada keesokan harinya. Karena tidak ada angkutan lagi ke pondok.