biar kata yang bicara

wellcom in jungle of mind

Jumat, 01 Oktober 2010

Lebaran

Ini mungkin cerita ketika aku bocah berumur 12 tahun dan mondok di pesantren. Di pondok ada tradisi Naun yaitu tidak pulang ke kampung halaman selama tiga lebaran berturut-turut atau 3 setengah tahun. Naun itu bukti khidmat santri pada pondoknya. Bagi santri hukumnya cuma sunah, mau  Naun silakan dan pulang kampung pun mangga kersa. Tahun pertama aku Naun , aku terhipnotis suasana Ramadhan yang rame. Banyak pengajian dan santri posonan yang datang. Lebih seperti perayaan pengajian, sebab di mana-mana ketemu orang yang mau mengaji. Dari pagi sampai malam pukul 12 pas. Pengajian terakhir jam setengah 12 sampai jam 12 diisi langsung oleh Pak Kiai. Setelah lonceng ke-12 dari bel di pinggir kantor, lampu padam. Saat itulah saat bagi santri untuk istirahat. Tapi lagi-lagi mata rasanya tidak mau tidur. Sebab malam menawar pemandangan yang luar biasa. Dalam langskap hitam dan langit biru ditaburi warna-warna putih bintang yang menghiasai angkasa. Inikah pesantrenku? Mengharu biru dalam kegelapan malam. Belum jeda juga rasa takjub, sayup-sayup sudah terdengar serombongan pemuda kampung membunyikan kentongan dalam irama yang teratur. Merdu sahdu. Membangunkan sahur.
Ramadhan terus berjalan, satu persatu santri mulai mengemasi barang-barang untuk kemudian pulang kampung. Tanggal 17 puasa, setelah peringatan Nuzulul Qur’an, keadaan pondok mulai sepi. Hari-hari selanjutnya sudah pasti akan semakin sepi. Sampai tinggal beberapa santri yang naun. Jumlah tinggal puluhan dari ratusan santri yang mondok. Dan lebaran datang dengan menawarkan keceriaan sendiri. Ada satu warung yang menyediakan sarapan gratis setiap lebaran tiba. Menunya opor ayam dengan kuah yang melimpah. Itu aku dengar dari santri-santri senior yang lebih dulu naun. Jika tidak datang lebih awal dipastikan akan kehabisan menu spesial lebaran. Dan aku di tahun pertama naunku, memang kurang beruntung. Aku tidur kelewat malam dan bangun terlalu siang. Aku datang ketika sudah tidak ada seorang pun.
”Habis mas,” demikian kata yang punya warung. Waduh, menu spesial lebaran melayang sudah. Dan, memang lebaran penuh arti. Artinya mudah-mudahan lebaran tahun depan aku mendapatkan sarapan gratis dengan menu spesial opor ayam dan kuah yang melimpah. Tahun berikutnya akhirnya aku mendapatkan menu spesial itu. Bahkan tahun ke tiga aku dapat tambahan sebutir telur matang. Bonus katanya.
Pada pagi lebaran setelah sholat Id, semua bubar ke rumah masing-masing. Karena untuk hari raya Idul Fitri jamaah masjid sekitar pondok sholatnya di masjid pondok. Tapi sebelum bubaran biasanya Pak Kiai menggelar halal bi halal dengan masyarakat sekitar. Spontan saja. Semua berkumpul di pendapa pondok. Kiai mengikrarkan halal bihalal dan ditutup dengan do’a.
Aku ke kamar asrama. Duduk sebentar dan bertanya-tanya mau ke mana ini? 
Keluar ke teras asrama terus ambil sandal berlari ke arah serombongan santri. Katanya mau keliling kampung untuk silaturrahmi. Seharian dari rumah satu ke rumah yang lain berkunjung, salaman, makan hidangan lebaran. Tahu nggak, tidak ada satu dari kita yang tahu nama pemilik dari rumah-rumah yang dikunjungi itu. Tak satu pun. Yang penting mubeng, keliling kampung. Tahunya orang kampung, kita ini santri pondok. Wajib diterima dan dihormati, apa pun keadaannya. (ketok’e mono tahun 1986-an wajahku sik mesakne banget, kudu disantuni. He .. he …)
Demikianlah, lebaran selanjutnya sepertinya sama yang terdahulu. Cuma ketika lebaran di tahun ke tiga, aku mulai mencari kesibukan baru. Setelah keliling kampung mosok terus di asrama. Bagaimana kalau pergi ke kota?
Benar, tekad sudah bulat, aku harus berangkat. Ke kota Pacitan. Hari masih pagi ketika aku meninggalkan asrama. Bus jurusan Pacitan-Ponorogo pada hari-hari biasa ada setiap jam. Tapi ini memang sungguh luar biasa. Aku duduk menunggu sampai berjam-jam.
Ini busnya pada ke mana sih?
Setelah hampir dhuhur baru keliatan kelap-kelip kacanya terkena sinar matahari di kejauhan. Syukurlah akhirnya aku dapat pergi ke kota Pacitan. Setengah jam kemudian aku sampai di tengah kota. Jlek, aku turun dari bus. Tahu nggak apa yang kudapati di kota Pacitan? Sebuah pemandangan yang mencengangkan. Kalau kamu pernah nonton film horor, sebuah kota yang ditinggal penduduknya karena ada vampire atau monster. Benar. Sepinya masyaallah …. Apa yang kuharapkan di kota dapat mengusir kesendirian ternyata malah lebih sepi dari pada di pondok.
Lagi-lagi aku bersyukur, karena bus yang membawaku ke kota Pacitan akhirnya juga balik pada sore harinya. Jika tidak, tentu aku harus mencari tempat bermalam dan pulang pada keesokan harinya. Karena tidak ada angkutan lagi ke pondok.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar